Entri Populer

Minggu, 07 Agustus 2011

CHEST PHYSIOTHERAPY PADA KASUS CEREBRAL PALSY

                                Oleh : Martha Sri Astuti, BPt


Cerebral Palsy adalah gangguan sensorimotor yang menyerang kontrol gerak dan postur (Nelson, C, dikutip dalam buku Neurological Rehabilitaton, 2001).  Gangguan disebabkan oleh kekurangan oksigen sesaat sebelum, selama atau sesaat sesudah proses kelahiran.  Gangguan yang pasti timbul adalah gangguan sensomotorik, seperti yang disebutkan di atas.  Ada juga beberapa gangguan yang muncul, antara lain gangguan respirasi
Gangguan respirasi biasanya timbul selama dalam perawatan di rumah sakit, sebelum kondisi bayi stabil.  Peran Fisioterapis ikut menentukan keberhasilan perawatan yang akan menentukan hasil akhir kondisi Pasien.  Pengetahuan Fisioterapis sangat ditantang untuk ikut membantu.  Dalam memberikan chest Phyisiotherapy, seorang Fisioterapis harus memperhatikan banyak hal, selain kondisi Pasien biasanya kritis, juga anatomi dada bayi berbeda dengan dewasa, sehingga akan sedikit membedakan pengkajiandan pelaksanaannya.
Sebagai seorang profesional, seorang Fisioterapis harus memberikan yang terbaik berdasarkan ilmu yang dimilikinya.  Oleh karenanya seorang Fisioterapis harus terus membaharui pengetahuannya.  Mengenai Chest Physiotherapy haruslah dipahami dasar pelaksanaannya.  Juga harus dipahami perbedaan penanganannya pada dewasa dan anak-anak serta bayi, apalagi bayi prematur.  Makalah ini akan lebih fokus pada penatalaksanaan Fisioterapi pada bayi dengan kelaianan Cerebral Palsy, terutama dalam kondisi belum stabil di NICU atau rawat inap.



Anatomi
Perkembangan paru dibagi menjadi empat periode, yaitu periode embrionik, pseudoglandular, canalicular dan terminal (Pryor dan Webber,1999) .   Berikut adalah tahapan perkembangan paru janin.
Periode embrionik
Minggu 3-5 :  berkembang dari satu tabung bakal trachea yang kemudian segera bercabang 2, membentuk bronchus utama.  Pada akhir minggu 5, trachea dan cabang utama bronchus terbentuk
Periode Pseudoglandular
Minggu 6-16 :  pada masa ini berkembang saluran nafas.  Berkembang dengan bercabangnya bronchus dan seterusnya, hingga terbentuk bronchus hingga cabang terminal bronchioles.  Juga terbentuk jaringan vaskular, kartilago, dan jaringan limpha. Cilia terbentuk pada minggu 10 dan sesudahnya
Periode canalicular
Minggu 17-24 : pada periode ini tumbuh bronchioli, alveolar ducts dan alveoli, bersamaan dengan berkembangnya jaringan kapiler.  Jaringan darah-udara mulai terbentuk pada minggu ke 19, dan surfactant mulai dihasilkan pada akhir periode
Periode Terminal
Minggu 24- lahir : pada periode ini terjadi penyempurnaan pertumbuhan bronchioli dan alveoli. Alveoli dibentuk oleh 2 jenis sel : tipe I pneumocytes adalah yang membentuk sebagian besar alveoli, sedangkan tipe II hanya 2% dari permukaan.  Sel tipe II menghasilkan dan menyimpan cairan surfactant yang menjaga kestabilan tegangan permukaan alveoli dan menjaga agar alveoli tidak kolaps.  Minggu 23-24 mulai dihasilkan surfactant dalam jumlah kecil, kemudian bertahap meningkat hingga minggu 30.  Kelahiran dan nafas pertama merangsang dan mematangkan produksi surfactant.  Menjelang akhir periode kantong-kantong udara berkembang menjadi alveoli multilokular yang primitif.  Sesudah lahir alveoli berkembang ukuran dan jumlahnya.  Pada saat lahir 150 juta, berkembang menjadi 300-400 juta pada saat umur 3-4 tahun- jumlah yang dibutuhkan orang dewasa.  Tetapi perkembangan alveoli terus berkembang hingga usia 8 tahun.
 Perkembangan paru yang perlu dicermati adalah produksi surfactant.  Surfactant baru muncul pada minggu ke 23-24, dan baru berkembang sempurna ketika bayi lahir sesuai umurnya.  Jadi bila bayi lahir prematur, maka terjadi permasalahan dengan produksi surfactant.  Mekanisme yang diakibatkan karena tidak sempurnanya produksi surfactant akan dijelaskan pada sub bab berikutnya.



Fisiologi

 Fungsi paru dan saluran nafasnya adalah ventilasi dan difusi gas. Ventilasi adalah masuk-keluarnya udara melalui saluran nafas hingga ke bronhus termil, sedangkan fungsi difusi adalah pertukaran gas yang terjadi di bronchioli, alveoli duct, alveoli sact dan alveoli.
Ventilasi terjadi karena perubahan tekanan di dalam rongga dada karena perubahan volume rongganya.  Ventilasi dipengaruhi oleh kekuatan otot-otot respirasi (terutama diafragma dan otot intercostal), elastisitas karilago intercostal, dan struktur tulang-tulang yang membentuk rongga dada.  Bila ada kelainan pada salah satu hal tersebut, maka fungsi ventilasi akan terganggu. 
Inspirasi terjadi karena diafragma dan otot intercostalis kontraksi, sehingga rongga dada melebar kesamping dan anterior, posisi clavicula dan costae dari posisi miring ke arah inferiolateral menjadi horisontal seperti pegangan timba.  Perubahan volume menyebabkan perbedaan tekanan, tekanan didalam rongga dada lebih kecil daripada luar.  Sehingga udara dari luar mengalir ke dalam rongga dada.  Demikian sehingga terjadi persamaan tekanan dan kemudian terjadi ekspirasi.
Mekanisme ventilasi yang disebutkan diatas adalah ventilasi pada paru orang dewasa normal dengan kondisi: struktur costa yang miring ke arah lateroinferior, kekuatan otot diafragma yang tahan lelah, kekuatan otot intercostal yang cukup. Dan kartilago intercostal yang cukup rigid tetapi masih elastis.
Sedangkan fungsi perfusi terjadi di alveoli, juga terjadi karena perbedaan tekanan gas tertentu.  Karena perbedaan konsentrasi gas pada alveoli dan kapiler disekitar alveoli. Pada saat inspirasi, konsentrasi oksigen di alveoli lebih tinggi alveoli, maka oksigen berperfusi ke kapiler.  Sebaliknya karena karbondioksida di kapiler lebih tinggi di kapiler, maka berperfusi ke alveoli.  Pada saat ekspirasi udara di alveoli yang sudah kaya karbondioksida dihembus keluar. 
Fungsi tersebut akan terganggu bila ada yang mengganggu proses perfusi tersebut, misalnya sekresi yang terakumulasi di alveoli atau alveoli kolaps. 
Faktor yang menentukan efisiensi respirasi adalah perbandingan perfusi dan ventilasi yang dilambangkan sebagai V/Q, dimana V adalah ventilasi dan Q adalah perfusi.  Bila ada ketidakseimbangan (mismatching V/Q), maka respirasi tidak efisien.  Karena sifatnya gas selalu mencari tempat yang atas.  Demikian juga dengan udara dalam paru, selalu mencari tempat yang atas, sehingga alveoli yang di distal hampir kolaps.  Sedangkan darah, sebagai cairan, sifatnya selalu kebawah.  Demikian juga darah dalam paru, lebih banyak pada kapiler di alveoli bawah.  Bila ventilasi normal, maka akan terjadi keseimbangan V/Q. Tetapi bila ada hambatan penyebaran udara hingga alveoli distal tidak mengembang, maka terjadi ketidakseimbangan.  Disinilah Fisioterpis berperan.


Fungsi Respirasi pada Bayi dan Anak Kecil

Ada beberapa perbedaan anatomis dan fisiologis pada anak kecil dan bayi yang akan memberikan perubahan mekanisme ventilasi.  Hal tersebut harusnya menjadi perhatian Fisioterapis.  Berikut dipaparkan beberapa perbedaan anatomis dan fisiologis bayi dan amak kecil


PERBEDAAN ANATOMI

 Bayi bisa menyusu dan bernafas secara bersamaan hingga kira-kira 3-4 bulan. Sebagian ilmuwan berpendapat bahwa bayi wajib bernafas melalui hidung.  Pengamatan klinis mengatakan pembuntuan pada saluran nasal akan meningkatkan kerja pernafasan dan menyebabkan apnoea.  Berikut beberapa perbedaan anatomi saluran nafas dan paru pada bayi:
1.jaringan adenoid pada bayi mungkin membesar, sehingga mungkin menyebabkan.  Juga lidah relatif besar pada bayi.  Hal-hal tersebut bisa menyebabkan obstruksi saluran nafas.
2.diameter saluran nafas pada bayi lebih kecil, terutama bayi prematur, membuat tahanan yang tinggi terhadap aliran udara yang masuk.  Apalagi bila ada oedem mukosa akan menambah kerja nafas.
3.struktur dinding bronchi pada bayi berbeda.  Kartilagonya lebih lentur dan ada lebih banyak kantung-kantung mukosa.  Hal-hal tersebut merupakan predisposisi obstruksi saluran nafas dan kolaps
4.alveoli bayi lebih sedikit, sehingga luas permukaan untuk pertukaran gas lebih sempit
5.saluran kolateral antar alveoli, bonchioli dan terminal bronchioli masih belum berkembang hingga umur 2-3 tahun, hal ini menyebabkan alveoli kemungkinan besar kolaps
6.costae bayi letaknya sangat horisontal, sehingga tidak ada gerak seperti pegangan ember dalam respirasi. Ditambah lemahnya otot intercostal berarti pernafasan akan sangat bergantung pada diafragma. Costae dewasa akan berkembang bila bayi sudah mulai mengembangkan postur tegaknya sehingga gaya gravitasi akan menarik costae ke depan dan bawah
7.insersi diafragma yang horisontal dan kartilago intercostae yang sangat lentur mengakibatkan efesiensi ventilasi dan perubahan bentuk dinding dada yang lebih jelek selama inspirasi
8.jaringan jantung, tymus dan yang lain relatif lebih besar, oleh karena itu lebih sempit ruang untuk jaringan paru



PERBEDAAN FISIOLOGI

Karena perkembangannya, maka fisiologi respirasi pada bayi dan anak kecil berbeda dibandingkan orang dewasa.  Berikut adalah hal-hal yang berbeda:
1.paru bayi lebih tidak komplian dibandingkan dengan anak-anak besar dan dewasa, terutama bayi prematur (kurang dari 37 minggu kehamilan) yang mungkin kekurangan surfactant
2.neonatus terutama yang prematur mempunyai pernafasan yang abnormal yang bisa mengarah ke apnoea.  Meskipun apnoea pendek dianggap normal, tetapi yang lebih panjang dan yang memerlukan stimulasi untuk memulai bernafas lagi perlu pemeriksaan lebih lanjut
3.perbedaan konfigurasi anatomi rongga dada- eltak costa yang horisontal- tidak memungkinkan perluasan rongga dada yang sama dengan dewasa, sehingga pemenuhan oksigen bayi harus bernafas lebih sering daripada memperdalamkan nafasnya
4.neonatus tidur hingga 20 jam sehari dan 80%nya dalam REM. Pada orang dewasa rem hanya meliputi 20%. Karena pada saat REM terjadi penurunan tonus postural, hal ini mengakibatkan turunnya kapasitas residual, sehingga meningkatkan kerja pernafasan
5.50% otot diafragma orang dewasa merupakan otot tipe I yang sangat tahan terhadap kelelahan, sedangkan neonatus hanya 25%dan bayi prematur hanya 10%.  Hal ini menyebabkan diafragma bayi akan cepat melelahkan diafragma
6.tingkat metabolik istirahat anak lebih tinggi dengan kebutuhan oksigen yang lebih tinggi.  Sehingga sedikit peningkatan kebutuhan akan menyebabkan hypoxia.  Hypoxia pada bayi menyebabkan bradycardia (kurang dari 100X/mnt) daripada tachycardia, seperti pada orang dewasa
7.bayi lebih banyak mengembangkan paru bagian atas daripada daerah dependent seperti pada orang dewasa, meskipun pola perfusinya sama.  Perbedaan ini bisa akan tetap hingga mencapai usia 20 tahun. Pada bayi dengan kelainan paru unilateral, oxygenasi bisa dioptimalkan dengan memposisikan paru yang baik pada bagian atas
8.pada bayi kecil dead space lebih dari kapasitas fungsional residual.  Didaerah dependent mungkin terjadi penutupan saluran nafas bahkan selama bernafas normal
Perbedaan-perbedaan diataslah yang menjadi pertimbangan bila kita mengadakan pengkajian dan penanganan pada bayi dan anak kecil.
Pemeriksaan dan Pengkajian
Pemeriksan pada bayi, terutama bayi prematur, harus teliti.  Beberapa hal yang diperhatikan sama dengan pada orang dewasa.  Tetapi ada beberapa hal tambahan yang wajib diperhatikan.  Pemeriksaan terdiri dari observasi dan melihat catatan perawat, serta informasi didapat dari Perawat atau keluarga yang ada disamping bayi.

Catatan medis

1.riwayat kehamilan, proses dan saat kelahiran
2.Apgar score, yang menghubungkan antara nadi, kerja pernafasan, tonus otot, reflex irritabilitas, dan warna; yang akan memberikan indikasi derajat asfixia yang diderita bayi
3.umur kehamilan dan berat badan
Diskusi dengan perawat yang relevan
1.stabilitas kondisi anak/bayi selama beberapa jam terakhir
2.toleransi terhadap perawatan: cepat hipoxia atau bradicardia? Berapa lama anak kembali ke kondisi semula setelah mengalami hipoxia atau bradicardia?
3.apa anak sudah makan? Lewat oral, nasogastric, atau intravenous? Kapan terakhir makan?
4.Apakah anak sudah mendapatkan istirahat cukup setelah perawatan terakhir?
Daftar Observasi
Dapatkan beberapa informasi dari catatan perawatan
1.pyrexia mungkin mengindikasikan infeksi respirasi.  Pada bayi prematur suhu kurang dari 36.5°C berarti perawatan yang tidak essensial harus ditunda hingga suhu naik.  Perbadingan suhu pusat dan tepi harus diperhatikan, khususnya untuk pasien yang kritis
2.tachycardia bisa disebabkan oleh sepsis atau shock.  Bisa juga disebabkan oleh tidak cukupnya sedasi atau analgesia.  Pada bayi prematur, bradicardia, baik yang tanpa atau karena stimulasi bisa disebabkan banyak hal termasuk akumulasi sekresi
3.terjadinya apnea pada bayi bisa menunjukkan distress respirasi, sepsis, atau adanya sekresi di saluran nafas atas dan bawah
4.tren gas arteri dan hubungannya dengan saturasi oksigen dan oksigen transcutaneous harus diperhatikan bersamaan dengan tingkat dan jenis bantuan respirasi

Catat semua hasil observasi.  Kemudian, lakukan pemeriksaan sebagai seperti yang disebutkan dibawah ini.

Pemeriksaan
Pemeriksaan anak yang lebih tua mirip dengan orang dewasa.  Beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan:
1.tanda-tanda klinis :
•recession : terjadi karena tekanan negatif yang sangat kuat menarik dinding dada yang lunak dan komplian, sternum subcostal dan intercostal mungkin juga akan tertarik.  Recessi ringan pada bayi prematur dianggap normal, tetapi pada bayi yang sudah lebih besar adalah tanda usaha nafas yang berlebihan
•Nasal Flaring : adalah dilatasi nostril, dengan melakukan hal tsb maka tahanan terhadap aliran udara akan berkurang.  Berarti bila ada nasal flaring artinya bayi tersebut sedang mengalami ditress respirasi
•Tachypnoea : (RR > 60X/mnt) mengindikasikan distres respirasi
•Grunting : terjasi bila bayi expirasi melawan glotis yang sebagian tertutup.  Hal tsb dilakukan untuk meningkatkan kapasitas residual  yang akan meningkatkan ventilasi
•Stridor : akan terdengar bila ada obstruksi parsial pada trachea atas dan atau larynx.  Obstruksinya biasanya karena ada kolapsnya dinding trachea, peradangan, atau menghirup benda asing
•Cyanosis  : adalah tanda yang tidak bisa dipercaya untuk distress respirasi pada bayi atau anak kecil, karena akan tergantung pada jumlah dan bentuk hemoglobin dan cukupnya jaringan sirkulasi periferal.  Pada 3-4 minggu pertama pada umur neonatus, jumlah feta hemoglobin sangatlah tinggi.  Oleh karena itu maka kurva satrasi bergeser ke kiri.
•Auscultation : Pada bayi dan anak kecil sulit melakukan auskultasi, karena mudahnya suara ditransmisikan.  Apalagi bila bayi sedang adalam ventilator, suara selang, akan mengacaukan hasilnya.  Akan sangat sulit mendengarkan nafas bayi prematur, karena dia bernafas secara spontan.  Ada anak yang lebih besar, suara sekresi di tenggorokan akan juga menggaung di kedua ruang paru.  Wheezing yang terdengar bisa disebabkan oleh bronchospasme atau penumpukan sekresi
•Cardiac Manifestation  : distres respirasi seperti tachicardia dan meningkatnya tekanan darah sistemik.  Perubahan keduanya akan memperburuk hipoxia dan bradicardia dan hypotensi
•Extensi leher : mungkin akan muncul pada bayi dengan distres respirasi sebagai usaha menurunkan tahanan aliran uadara
•Head Bobbing : akan muncul bila bayi menggunakan otot sternocleido mastoideus. Hal ini terjadi karena otot leher bayi relatif masih lemah, belum mampu menstabilkan kepala
•Pallor : sering muncul pada bayi dengan ditres respirasi sebagai tanda hypoxaemia atau masalah lain termasuk anemia
•Malas makan : biasanya dihubungkan dengan distres respirasi.  Seorang bayi akan memerlukan istirahat beberapa detik bila menghisap susu.
•Perubahan tingkat kesadaran : berkurangnya aktivitas bisa karena turunnya kesadaran atau karena sedasi, tetapi juga bisa karena hypoxia dan mungkin disertai ketidakmampuan makan dan minum
•Observasi lain : bila anak bisa duduk dengan gembira dan bermain dengan senang berarti anak sehat. Tetapi yang mudah marah bisa jadi tanda hypoxia. Bila anak distres respirasi berat bisa seharian telentang (berbaring) untuk penghematan energi.  Bila anak mengalami distres respirasi, Terapis perlu melakukan pemeriksaan tonus otot. Karena orang yang kesadarannya rendah akan turun tonus ototnya. Anak dengan hypotonik bisa kesulitan bernafas dan pembersihan saluran nafas.  Perut kembung juga akan menyebabkan distresss respirasi bahkan memperburuk respirasi karena menempatkan diafragma pada posisi yang tidak menguntungkan
Sesudah melakukan pemeriksaan, maka bisa dilihat problem yang muncul.  Problem yang biasa muncul adalah gangguan pada pembersihan saluran nafas atau gangguan aliran udara atau gangguan pertukaran gas.



Teknik fisioterapi

Sebagian besar teknik Fisioterapi untuk orang dewasa juga bisa dilakukan untuk anak atau bayi.  Kemungkinan bahwa chest Ft dan suction akan meperburuk kondisi , sehingga pemberiannya harus benar-benar dipertimbangkan dan bukan hanya karena suatu rutinitas.  Yang menjadi dasar pertimbangan adalah Fisioterapis mengerti tujuan pengobatan dan pengaruhnya terhadap yang diberikan pengobatan, terutama bila yang diberikan adalah bayi prematur. Oleh karena itu evaluasi melalui pengamatan semua reaksi sangat penting.  Pengobatan seharusnya diberikan setidaknya 1 jam sesudah makan untuk mencegah aspirasi.
Berikut akan dijelaskan beberapa teknik, tujuan dan kemungkinan bahayanya, yang bisa diberikan kepada bayi dan anak.
Perkusi
Perkusi dada termasuk clapping dengan menggunakan tangan atau masker.  Biasanya sangat bisa ditoleransi dan sangat efektif untuk bayi.  Claping seharusnya dilakukan dengan satu tangan untuk bayi atau anak kecil.  Untuk bayi prematur cukup dengan 3 atau 4 jari.  Tarik sedikit jari tengah sehingga membentuk cekungan. Sebagai pengganti jari bisa digunakan benda yang melengkung misalnya masker. Masker lunak dan tidak menyakitkan serta tidak merusak kulit bayi yang sensitif.
Tujuan perkusi adalah menggerakkan sekresi dari saluran nafas yang lebih distal ke arah yang lebih proximal.  Dilakukan selama inspirasi maupun expirasi.
Vibrasi dan shaking
Vibrasi atau shaking dinerikan selama bayi expirasi bersamaan dengan hembusan udara keluar dari alveoli menuju ke arah keluar.  Denga  demikian vibrasi atau shaking diharapkan akan ikut menggerakkan juga sekresi kearah yang lebih proximal.  Diperlukan waktu expirasi yang cukup, sehingga vibrasi atau shaking bisa dilaksanakan dengan optimal.
Rongga dada sangat komplian pada bayi dan anak kecil, jadi vibrasi sangat efektif untuk mengeluarkan sekresi bila RR sekitar normal (30-40).  Bila bayi bernafas lebih dari 60X/mnt maka waktu expirasinya sangat pendek dan sulit untuk mengaplikasikan vibrasi.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan:
•Anak dengan kurang gizi, sakit liver atau bayi prematur bisa kena penyakit rickets, yang mudah patah tulangnya. Hati-hati bila melakukan vibrasi
•Bayi yang sangat prematur kulitnya sangat sensitif, mudah luka.  Mungkin vibrasi bisa membat luka. Vibrasi dan perkusi mungkin tidak tepat
•Vibrasi dan perkusi bisa memperparah bronchospasm
Postural Drainage
Posisi yang paling banyak terkena  adalah sisi kanan atas posterior.  Jangan tundukkan kepala bayi preamtur, karena akan meningkakan tekanan intra kranial.  Pada bayi prematur hal tersebut akan beresiko perdarahan perivetrikular.
Posisioning
Tujuan posisioning adalah untuk mengoptimalkan fungsi paru, lebih mengoptimalkan keseimbangan V/Q.  Posisi telentang adalah yang paling tidak menguntungkan.  Telungkup adalah posisi yang paling menguntungkan untuk fungsi respirasi, juga karena energi yang dibutuhkan lebih rendah.  Posisi telungkup baik untuk bayi yang distress respirasi dengan monitoring terus menerus.  Tetapi tidak boleh dilakukan bila tidak ada monitoring atau pendampingan, karena akan beresiko terjadinya sudden infant death.
Bila ada gangguan ventilasi pada daerah tertentu,  posisioning harus lebih diperhatikan.  Tempatkan bagian yang terganggu pada bagian atas.  Tetapi posisi ini bukan untuk postural drainage, karena pada bayi pertumbuhan saluran kolateral alveoli belum sempurna.
Bayi yang baru lahir akan mendapatkan oksigenasi lebih baik bila kepala diganjal bantal.  Dan kadar oksigen dalam alveolar akan turun bila kepala diturunkan, bila tidak didukung ventilasi mekanik.
Manual hyperinflation
Biasanya manual hyperinflasi dilakukan oleh Perawat.  Pada prinsipnya volume yang diberikan pada bayi 500ml dan anak 1000ml.  Tekanan yang ditimbulkan tidak boleh lebih dari 5 – 10 cm H2O.  Parameter yang sama berlaku bila diberikan ventilator.
Yang perlu dipetimbangkan adalah jaringan kolateral alveoli pada bayi belum tumbuh sempurna, sehingga sulit untuk membantu membuka alveoli yang kolaps.  Yang terjadi justru memelarkan alveoli yang sudah terbuka.  Hal tersebut akan menjadi faktor predisposisi terjadinya pnemothorax.  Jadi manula hyperinflasi seharusnya tidak dilakukan pada bayi prematur, karena jaringannya yang masih rapuh dan mudah rusak oleh tekanan inflasi yang tinggi
Breathing Exercise
Tertawa dan menangis adalah latihan nafas yang paling efektif untuk bayi.  Karena akan terjadi expansi paru yan maksimal.
Latihan Batuk
Anak umur 18 bulan sudah mulai bisa menirukan batuk.  Umur 3-4 tahun bisa menelan.  Untuk bayi rangsangan batuk bisa dilakukan dengan kompresi trachea.  Dengan menggeser trachea sedikit ke kiri atau ke kanan, maka bayi akan terangsang batuk.
Suction Saluran Nafas
Bayi harus ditambahkan oksigen untuk mencegah hypoxia.  Tetapi hyperoxia, meskipun hanya sebentar, akan bisa menyebabkan retinopathy.
Bila harus melakukan suction saluran nafas, maka semua alat dan tangan haruslah bersih.  Karena anak dan bayi sangat rentan terhadap infeksi.  Tekanan yang direkomendasikan adalah 10-20 kPa aau 75-150mmHg.  Pada umumnya digunakan suction catheter nomor 6.  Diameter suction tidak boleh lebih dari 50% diameter saluran nafas.


DAFTAR PUSTAKA
1.Martini, Frederic (1998): Anatomy and Physiology,fourth edition, Prentice Hall International, Inc, new Jersey
2.Pryor dan Webber (1999): Physiotherapy for Respiratory and Cardiac Problem, second edition, Churchill Livingstone, London
3.Shepherd, Robertha (1997): Physiotherapy in Paediatrics, third edition, Butterworth Heinemann, Oxford
4.Umphred, Darcy A (2001): Neurological Rehabilitation, fourth edition, Mosby, St Louise

Rabu, 03 Agustus 2011

PATOFISIOLOGI NYERI DARI ASPEK FISIOTERAPI

Oleh: Heru Purbo Kuntoro, Dipl. P. T., M. Kes



PENDAHULUAN
Fenomena nyeri timbul karena adanya kemampuan system saraf untuk mengubah berbagai stimuli mekanik, kimia, termal, elektris menjadi potensial aksi yang dijalarkan ke system saraf pusat.

Berdasarkan patofisiologinya nyeri terbagi dalam:
Nyeri nosiseptif atau nyeri inflamasi, yaitu nyeri yang timbul akibat adanya stimulus mekanis terhadap nosiseptor.
Nyeri neuropatik, yaitu nyeri yang timbul akibat disfungsi primer pada system saraf ( neliola, et at, 2000 ).
Nyeri idiopatik, nyeri di mana kelainan patologik tidak dapat ditemukan.
Nyeri spikologik

Berdasarkan factor penyebab rasa nyeri ada yang sering dipakai dalam istilah nyeri osteoneuromuskuler, yaitu :
Nociceptor mechanism.
Nerve or root compression.
Trauma ( deafferentation pain ).
Inappropiate function in the control of muscle contraction.
Psychosomatic mechanism.

Apabila elektroterapi ditujukan untuk menghambat mekanisme aktivasi nosiseptor baik pada tingkat perifer maupun tingkat supra spinal. TENS sebagai salah satu cara/upaya dalam aplikasi elektroterapi terhadap nyeri.

Nociceptor:
Sensor elemen yang dapat mengirim signal ke CNS akan hal–hal yang berpotensial membahayakan. Sangat banyak dalam tubuh kita, serabut-serabut afferentnya terdiri dari:
A delta fibres, yaitu serabut saraf dengan selaput myelin yang tipis.
C fibres, serabut saraf tanpa myelin.

Tidak semua serabut-serabut tadi berfungsi sebagai nosiseptor, ada juga yang bereaksi terhadap rangsang panas atau stimulasi mekanik. Sebaliknya nosiseptor tidak dijumpai pada serabut-serabut sensory besar seperti A Alpha, A Beta atau group I, II. Serabut-serabut sensor besar ini berfungsi pada “propioception” dan “motor control”.
Nociceptor sangat peka tehadap rangsang kimia (chemical stimuli). Pada tubuh kita terdapat “algesic chemical” substance seperti: Bradykinine, potassium ion, sorotonin, prostaglandin dan lain-lain.
Subtansi P, suatu neuropeptide yang dilepas dan ujung-ujung saraf tepi nosiseptif tipe C, mengakibatkan peningkatan mikrosirkulasi local, ekstravasasi plasma. Phenomena ini disebut sebagai “neurogenic inflammation” yang pada keadaan lajut menghasilkan noxious/chemical stimuli, sehingga menimbulkan rasa sakit.

Deregulasi Sistem Motorik yang Menyebabkan Rasa Sakit
 
Kita ketahui hypertonus otot dapat menyebabkan rasa sakit. Pada umumnya otot-otot yang terlibat adalah “postural system”. Nosiseptif stimulus diterima oleh serabut-serabut afferent ke spinal cord, menghasilkan kontraksi beberapa otot akibat “spinal motor reflexes”. Nosiseptif stimuli ini dapat dijumpai di beberapa tempat seperti kulit visceral organ, bahkan otot sendiri. Reflek ini sendiri sebenarnya bermanfaat bagi tubuh kita, misalnya “withdrawal reflex” merupakan mekanisme survival dari organisme.
Disamping berfungsi tersebut, kita juga sadari bahwa kontraksi-kontraksi tadi dapat meningkatkan rasa sakit, melalui nosiseptor di dalam otot dan tendon. Makin sering dan kuat nosiseptor tersebut terstimulasi, makin kuat reflek aktifitas terhadap otot-otot tersebut. Hal ini akan meningkatkan rasa sakit, sehingga menimbulkan keadaan “vicious circle”, kondisi ini akan diperburuk lagi dengan adanya ischemia local, sebagai akibat dari kontrksi otot yang kuat dan terus menerus atau mikrosirkulasi yang tidak adekuat sebagai akibat dari disregulasi system simpatik.
Pada gambar 1, terlihat input serabut afferent dan organ visceral, kulit, sendi, tendons, otot-otot atau impuls dan otak yang turun ke spinal dapat mempengaruhi rangsangan (exitability) dan alpha dan gamma motorneurons yang berakibat kontraksi otot (muscle stiffness), misalnya meningkatkan input nosiseptif dari viscus abdominalis akan meningkatkan tonus otot-otot abdomen. Atau input nosiseptif dari sendi kapsul dapat meningkatkan “reflex excitability” dan beberapa otot-otot antagonis yang bersangkutan dengan pergerakan sendi tersebut sehingga hal ini dapat memblok sendi tersebut, disebut juga sebagai “neurogenic block”. Pengaruh yang paling besar berasal dari otak, stress dan emosi dapat mengakibatkan “descending excitatory pathways”, sehingga merangsang peningkatan reflek dari otot-otot postural.
Perasaan nyeri tergantung pada pengaktifan serangkaian sel-sel saraf, yang meliputi reseptor nyeri afferent primer, sel-sel saraf penghubung (inter neuron) di medulla spinalis dan batang otak, sel-sel di traktus ascenden, sel-sel saraf di thalamus dan sel-sel saraf di kortek serebri. Bermacam-macam reseptor nyeri primer ditemukan dan memberikan persarafan di kulit, sendi-sendi, otot-otot dan alat-alat dalam pengaktifan reseptor nyeri yang berbeda menghasilkan kuatitas nyeri tertentu. Sel-sel saraf nyeri pada kornu dorsalis medulla spinalis berperan pada reflek nyeri atau ikut mengatur pengaktifan sel-sel traktus ascenden. Sel-sel saraf dari traktus spinothalamicus membantu memberi tanda perasaan nyeri, sedangkan traktus lainnya lebih berperan pada pengaktifan system kontrol desenden atau pada timbulnya mekanisme motivasi-afektif.
Beberapa penelitian menunjukan bahwa thalamus lebih berperan dalam sensasi nyeri dibandingkan daerah kortek serebri (willis WD, 1995). Meskipun demikian penelitian-penelitian lain membuktikan peranan yang cukup berarti dan kortek serebri dalam sensasi nyeri. Struktur diensepalik dan telesepalik seperti thalamus bagian medial, hipotalamus, amygdala dan system limbic diduga berperan pada berbagai reaksi motivasi dan afektif dari nyeri.
 

 

FISIOTERAPI PADA ASMA BRONCHIALE

Ditulis oleh : Muh. Irfan, SKM,SSt

  
Asthma bronkhiale adalah suatu penyakit yang ditandai oleh adanya hiper reaktivitas saluran napas terutama trakhea dan bronkhus terhadap suatu rangsangan. Penyakit ini dapat menyerang pada berbagai usia, terutama pada usia anak dan lansia. Waktu serangan kebanyakan terjadi pada malam hari dan pagi hari.
Tanda dan gejalanya adalah adanya inflamasi kronik saluran napas yang disebabkan oleh adanya peningkatan respon yang berlebihan atau hiperresponsive dari jalan napas terhadap allergen ,yang sering berhubungan dengan adanya obstruksi jalan napas yang luas dan sering kali bersifat reversible dengan atau tanpa pengobatan. Obstruksi tersebut terjadi karena adanya spasme otot-otot bronchus, adanya inflamasi kelenjar mukosa, serta adanya produksi mucus yang berlebihan.

Sebagai akibat dari adanya obstruksi tersebut dapat memicu terjadinya gejala yang bersifat episodic dan berulang berupa sesak napas, dada terasa berat, dengan disertai adanya mengi atau suara napas yang melengking dan batuk-batuk berdahak, terutama pada malam hari atau pagi hari. Batuk pada penderita asma awalnya adalah merupakan gejala, tetapi pada akhirnya akan menjadi suatu permasalahan tersendiri dari sekian banyak permasalahan yang ada. Beberapa permasalahan yang sering kali menyertai pada penderita asma bronkhiale adalah adanya sesak napas, adanya gangguan pembersihan jalan napas, air flow, penyempitan jalan napas, gangguan pertukaran gas, disfungsi otot-otot pernapasan, serta gangguan pola pernapasan (abnormal breathing pattern) dan batuk yang pada hakekatnya saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya.

Batuk pada penderita asma bronkhiale sangat bervariasi, yang dapat dilihat dari frekuensi atau seringnya batuk. Frekuensi seringnya batuk pada penderita asthma bronkhiale dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut:
1).Hiperskeresi bronchus yang menghasilkan mucus yang berlebihan.
2). Penumpukan mucus atau seputum karena menurunnya fungsi silia.
3). Ventilasi yang rendah karena obstruksi jalan napas.
4). Daya tahan tubuh yang menurun.


Penatalaksanaan fisioterapi pada penderita asma bronchiale di rumah sakit maupun di klinik-klinik fisioterapi sering dilakukan dengan memberikan intervensi dengan microwave diathermi, postural drynage dan breathing exercise.

Microwafe diathermi adalah suatu modalitas fisioterapi dengan menggunakan arus bolak-balik dengan frekuensi 2450 MHz dan panjang gelombang 12,25 cm. Berdasarkan frekuensi dan panjang gelombangnya maka microwave diathermi mempunyai kemampuan penetrasi kedalam jaringan ± 3 cm atau dapat mencapai jaringan otot. Dengan aplikasi dari pendekatan anterior dan posterior dinding thorak, dengan efek thermal dari microwave diathermi diharapkan dapat meningkatkan metabolisme otot khususnya otot-otot pernapasan, meningkatkan sirkulasi darah lokal, meningkatkan elastisitas jaringan, menurunkan tonus otot-otot pernapasan dan otot polos dinding bronchus melalui normalisasi nosisensorik, sehingga dapat diperoleh efek relaksasi pada otot polos bronchus dan otot-otot pernapasan. Efek relaksasi pada otot polos bronchus tersebut, diharapkan akan terjadi perubahan pada bronchus yaitu menurunnya stress mekanik pada dinding bronchus dan terjadinya dilatasi atau pelebaran bronchus. Dengan menurunnya stress mekanik pada dinding bronchus maka diharapkan dapat menurunkan hiperskresi mucus dan dapat menurunkan frekuensi batuk . Dengan terjadinya dilatasi bronchus tersebut, akan memberikan efek kemudahan dalam pengaliran mucus dan menurunkan sesak napas.

Efek relaksasi pada otot-otot pernapasan adalah menurunnya ketegangan otot-otot pernapasan, meningkatnya metabolisme otot, nutrisi untuk otot tercukupi sehingga otot-otot pernapasan dapat bekerja optimal dan pernapasan menjadi lebih baik untuk menghasilkan ventilasi paru yang adequate. Postural drainage adalah suatu metode pembersihan saluran napas dengan cara memposisikan penderita sedemikian rupa, dan dengan pengaruh gravitasi, mucus dapat dialirkan ke saluran yang lebih besar, sehingga mudah untuk dikeluarkan. Dalam pelaksanaannya postural drainage ini selalu disertai dengan tapotement atau tepukan dengan tujuan untuk melepaskan mucus dari dinding saluran napas dan untuk merangsang timbulnya reflek batuk, sehinggga dengan reflek batuk mucus akan lebih mudah dikeluarkan.

Jika saluran napas bersih maka pernapasan akan menjadi normal dan ventilasi menjadi lebih baik. Jika saluran napas bersih dan ventilasi baik maka frekuensi batuk akan menurun. Breathing exercise adalah suatu metode latihan pernapasan yang dilakukan dengan type tertentu, untuk tujuan tertentu serta diaplikasikan pada kondisi tertentu pula. Breathing exercise yang dimaksud di sini adalah force passive breathing exercise yaitu suatu bentuk latihan napas yang dalam pelaksanaannya sering dilakukan bersamaan dengan postural drynage atau dilakukan dalam sesi tersendiri, dimana saat akhir dari ekspirasi diberikan suatu penekanan dengan arah sesuai dengan gerakan segmen thorak saat ekspirasi dan saat inspirasi tekanan dihilangkan namun tangan fisioterapist tetap menempel pada segmen dinding thorak tersebut dan mengarahkan gerakan sesuai gerakan segmen dinding thorak tersebut saat inspirasi. Dengan breathing exercise ini akan dapat menurunkan udara residu dan mengefektifkan kerja dari otot-otot pernapasan sehingga dapat memperbaiki ventilasi paru yang menurun pada penderita asma bronkhiale. Jika ventilasi baik maka akan dapat menghasilkan batuk yang efektif. Jika batuk efektif maka mucus akan mudah untuk di keluarkan, jika mucus keluar maka saluran napas bersih, dan jika saluran napas bersih maka frekuensi batuk akan menurun.

FISIOTERAPI STUDI KASUS PADA FASCIITIS PLANTARIS

Suatu studi kasus oleh Slamet Parjoto, SST. Ft

Seorang perawat wanita berusia 53 tahun dirujuk ke unit PT dengan diagnosa FP .
Pada kunjungan pertama pasien sudah mengalami nyeri kurang lebih 2 tahun , dimana nyeri hilang timbul . Ketika pertama kali pasien mengeluh nyeri ybs memperleh injeksi kortison dan obat-obat anti inflamasi . Nyeri berkurang 90% dan tidak menimbulkan gangguan sewaktu menumpu beraktivitas dengan menumpu berat badan ( weight bearing ) keadaan ini berlangsung sampai dengan 6 bulan kedepan . Setelah 6 bulan pasca injeksi kortison pasien mengalami nyeri lagi sampai dua kali ulangan dan ybs mendapatkan lagi terapi kortison dan obat-obat anti inflamasi lagi . Pada injeksi kortison yang ke tiga keluhan nyeri tidak berkurang sehingga pasien di rujuk ke unit Fisioterapi .
Pada kunjungan pertama pasien menyatakan nyeri terakhir dirasakan kurang lebih 6 minggu sebelum dirujuk ke unit PT . Dia menyatakan bahwa sebelum nyeri timbul dia melakukan aktivitas jogging 5 kali seminggu , selain itu ybs juga harus bekerja dbel waktu karena menggantikan teman .
Nyeri terutama dirasakan pada tumit kanan yang terjadi saat pertama kali dia menapakan kakinya kelantai sehabis bangun tidur atau ketika mau berjalan setelah duduk lebih dari setengah jam . Saat ini pasien tak lagi mampu jogging dan merasakan nyeri yang terus menerus selama berdiri atau seawaktu melaksanakan pekerjaannya . VAS 7/10 Radiografi tidak menunjukan adanya fraktur maupun spur . Seminggu sebelum dirujuk pasien mulai mengknsumsi obat anti-inflamasi .

PEMERIKSAAN FISIK OLEH FISIOTERAPI
1.Palpasi
2.Gait
3.Fleksibilitas relatif
4.LGS dan kekuatan otot
5.Sepatu yang digunakan .

1.Penekanan pada tumit tidak menimbulkan nyeri yang berarti , tetapi nyeri terutama dirasakan pada daerah medial anterior dari tuberkulum kalkanei . Rasa tak nyaman meninggi saat penekanan pada lengkung fascia plantar disertai dengan ekstensi pasif jari-jari kaki . Tak dijumpai adanya peninggian suhu lokal atau pembengkakan

2.Pola jalan terlihat adanya pronasi subtalar yang berlebihan sewaktu menumpu berat badan yaitu akhir dari midstance . Fleksi dorsal pada pergelangan kaki kanan juga mengalami keterbatasan saat midstance sampai terminal stance . Gerak pada lutut , penggul dan pelvis simetris antara tungkai kanan dan kiri

3.Pemeriksaan fleksibilitas menunjukan adanya gangguan pada kelompok fleksor plantar yang dibuktikan terjadinya sedikit fleksi lutut sewaktu berdiri . Ketika pasien diminta untuk mempertahankan tumit dilantai dan lutut ditekuk terjadi pronasi yang berlebihan pada midfoot kanan .

PROGRAM FISIOTERAPI

1.Untuk mengurangi nyeri pasien diminta untuk menggunakan es dan istirahat . Pemberian massage es terutama diberikan menjelang tidur . Latihan fleksibilitas juga harus dilakukan oleh pasien .

2.Di unit PT , phonoporesis , straping dan ortose temporer .
EVALUASI
Pasien mengalami penurunan nyeri dari 10 /10 menjadi 5/10 sewaktu kunjungan yang kedua . Nyeri dirasakan pagi hari dan memberat lagi diwaktu senja /sore . Terapi tetap sama dengan hari I ditambah dengan menggunakan ostose berupa medial heel dan wedge pada forefoot yang bertujuan mengurangi pronasi. Saat kunjungan ke 3 kondisi pasien menunjukan stadium sub akut hal ini ditunjukan dengan keluhan nyeri yang hanya terjadi saat penguluran fascia plantar mencapai range maksimal . Pendekatan PT harus dilakukan lebih agresif yaitu berupa latihan daya tahan dengan menggunakan sepeda statis guna mengganti program lari . Pasien diminta untuk memperbaiki pola jalannya . Pasien juda diminta untuk memperkuat otot-otot intrinsik dan supinator . Pada kunjungan ke empat keluhan nyerinya 3/10 . 17 hari sesudah keunjungannya yang pertama pasien berkunjung lagi ke unit PT , dan pada kunjungan ke 5 nya nyeri tinggal 1/10 terutama terjadi pada pagi hari dan sore . Ortose permanen dianjurkan kepada pasien ybs . 2 minggu kemudian pasien datang lagi tanpa keluhan nyeri . 1 bulan berikutnya lewat telpon diketahui bahwa pasien tidak lagi mengalami nyeri ketika sedang bekerja dan dia sudah bisa berolahraga lari 20 mil per minggu .

PENATALAKSANAAN STIMULASI ELEKTRIS PADA PEDERITA STROKE

Ditulis oleh : Heru Purbo Kuntono, Dipl. PT, M.Kes
 
ABSTRAK
Meskipun mekanisme secara nyata belum jelas, system saraf secara kontinyu beradaptasi terhadapstimulasi lingkungan, reorganisasi ini disebut “neural plasticity”. Sistem saraf perifer atau system saraf pusat (SSP) mempunyai kemampuan yang sangat progres untuk penyembuhan dari cedera / injury melalui proses “collateral suprouting” dan reklamasi sinaps atau “ synaptic reclamation”. Perbaikan spontan secara kompleks merupakan suatu pengecualian dari aturan presentasi yang bermakna dari trauma sistem saraf. Neural plasticity merupakan hal yang penting untuk mendidik kembali fungsi otot dan aplikasi fasilitasi.
Stimulasi saraf pada suatu otot melaui saraf perifer menunjukkan peningkatan neuromuskuler plastisitas secara adekuat. Stimulasi elektris juga merangsang otot berkontraksi, pada penjumlahan kontrksi otot secara langsung, akan mempengaruhi aktivitas afferent dari muscle spindle dan golgi tendon yang akan memberikan informasi terhadap system saraf pusat untuk sistem fasilitasi dan inhibisi. Selama itu stimulasi elektris juga akan memberikan fasilitasi dan reedukasi terhadap kontraksi otot yang akan diinduksikan ke sistem saraf pusat sehingga mempengaruhi neural plasticity terutama pada stadium recovery pada cedera sistem saraf pusat (SSP). Pada stroke (CVA) dengan spastisitas elektrikal stimulasi akan mengurangi spastisitas melalui mekanisme “reciprocal inhibition”.

PENDAHULUAN

Penderita stroke mempunyai hubungan bermakna terhadap reorganisasi yang disebut neural plasticity dalam proses perbaikan system sarafnya. Disamping itu penderita stroke akan mengalami gangguan fungsi motorik, sensorik, kognitif dan psikiatrik (emosional).
Intervensi penyembuhan saraf penderita stroke harus juga ditangani secara menyeluruh sejak fase awal hinga fase penyembuhan. Tindakan meliputi pendekatan fisik (physial therapy), pendekatan medis (perawatan dan obat-obatan) dan pendekatan psikiatrik. Pendekatan fisik dengan segala aspek kapasitas fisik dan kemampuan fungsional penderita stroke merupakan salah satu topik yang menjadi perhatian pada dekade akhir-akhir ini.
Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang (1) neural plasticity yang mendasari perkembangan sensorik dan motorik dalam penyembuhan fungsional dan (2) intervensi stimulasi elektris dalam upaya mendidik kembali fungsi otot dan aplikasi fasilitasi serta mengontrol spastisitasnya.

NEURAL PLASTICITY
Proses perbaikan pada penderita stroke banyak diselidiki para ahli. Pada fase primer awal perbaikan fungsional neurology berupa perbaikan lesi primer oleh penyerapan kembali edema di otak dan membaiknya sistem vaskularisasi. Dalam beberapa waktu kemudian berlanjut ke perbaikan fungsi aksonal atau aktivasi sinaps yang tidak efektif.Pada penderita stroke, perbaikan fungsi neuron berlangsung kurang lebih dalam waktu satu tahun. Prediksi perbaikan ini sangat tergantung dari luasnya defisit neurologis awal, perkembangan tensi, ukuran dan topis lesi di otak, serta keadaan sebelumnya. Keadaan ini juga dipengaruhi oleh usia, nutrisi dan tindakan terapi (physical therapy) yang juga merupakan faktor yang menentukan dalam proses perbaikan.

REORGANISASI DARI FUNGSI
Kemampuan otak untuk memodifikasi dan mereorganisasi fungsi dan fungsi yang mengalami cedera / kerusakan disebut neural plasticity. Kemampuan otak beradaptasi untuk memperbaiki, mengatasi perubahan lingkungannya ( bahaya-bahaya) melalui penyatuan neural kembali dikelompokkan menjadi:

a.Suprouting (collateral suprouting)
Merupakan respon neuron daerah yang tidak mengalami cedera dari sel-sel yang utuh ke daerah yang denervasi setelah cedera. Perbaikan fungsi SSP dapat berlangsung beberapa bulan ataun tahun setelah cedera dan dapat terjadi secara luas di otak pada daerah septal nucleus, hipokampus, dan system saraf tepi.

b.Unmasking
Dalam keadaan normal, banyak akson dan sinaps yang tidak aktif. Apabila jalur utama mengalami kerusakan maka fungsinya akan diambil oleh akson dan sinaps yang tidak aktif tadi. Menurut Wall dan Kabat, jalur sinapsis mempunyai treshold yang sangat tinggi. Karena mempunyai mekanisme homeostatic. Dimana penurunan masukan akan menyebabkan kenaikan eksibilitas sinapsnya

c.Diachisia (Dissipation of diachisia)
Keadan ini dimana didapat kehilangan keseimbangan fungsi atau adanya hambatan fungsi dari traktus-traktus central di otak.

Perbaikan fungsi setelah penyembuhan akan didapatkan melaui dua cara yang harus dipikirkan yaitu:
1.Latihan gerak / Stimulasi elektris untuk mempengaruhi fasilitasi dan mendidik kembali fungsi otot serta aplikasi fasilitasi terhadap sisi anggota yang lesi.
2.Latihan/ stimulasi elektris untuk mempengaruhi gerak kompensasi sebagai pengganti daerah yang lesi
3.Stimulasi elektris mengontrol spastisitas.

Pada fase penyembuhan ini latihan atau stimulasi elektris sangat berpengaruh dalam derajat maupun kecepatan perbaikan fungsi . Stimulasi sedini mungkin yang dilakukan secara berulang – ulang akan menjadi gerak yang terkontrol/ terkendali.

COUNTER BALANCE DAN COUNTER ACTIVITY
Rotasi trunk
Mobilitas ekstrimitas
Pola jalan
Spastisitas
Mekanisme reflek postural normal

Counter balance dan counter activity akan mempengaruhi tonus pada ekstensor trunk (erector spine) dan gluteus maksimus sehingga menghambat rotasi trunk, pola jalan, meningkatkan spastisitas dan pola sinergis.
Mekanisme reflek postural normal selalu digunakan untuk mengontrol tonus.


INTERVENSI STIMULASI ELEKTRIS

a. Muscle re-education and fascilitation
Stimulasi elektris pada prisipnya harus menimbulkan kontraksi otot, sehingga akan merangsang golgi tendon dan muscle spindle. Rangsangan pada muscle spindle dan golgi tendon akan diinformasikan melalui afferent ke susunan saraf pusat sehingga akan mengkontribusikan fasilitasi dan inhibisi.
-Rangsangan elektris yang diulang – ulang akan memberikan informasi ke “ supra spinal mechanism” sehingga terjadi pola gerak terintegrasi dan menjadi gerakan – gerakan pola fungsional .
-Stimulasi elektris melalui saraf motorik perifir melatih fungsi tangan “ graps” dan “ release” serta dapat memberikan fasilitasi pada otot yang lemah dalam melakukan gerakan.
-Pada kondisi CVA spastik stimulus elektris menurunkan spastisitas melalui mekanisme “ resiprocal inhibition “.
Penelitian Gersh (1991) menjelaskan bahwa stimulus elektris pada otot deltoid dengan menggunakan IDC pada waktu 3 bulan pada CVA selama stadium flacid sampai recovery mampu mengembalikan caput humeri yang mengalami luxasio

b. Orthotic Substitution pada aktivitas kontraksi otot agonis akan membentuk relaksasi pada otot antagonis.
Stimulasi elektris yang diaplikasikan pada gerakan dorsi fleksi ankle akan memberikan fasilitasi kontraksi dengan memperbaiki pola jalan (gait training) selama swing phase (fase ayunan).
Fasilitasi regio gluteal dan otot kuadriseps akan membentu memberikan stabilisasi selama fase “stance” dari gait dan juga pada group plantar flexor ankle dan hamstring akan memfasilitasi push off sehingga akan lebih baik pola jalannya terutama pada penderita post CVA.

PENATALAKSANAAN

1.Aplikasi antagonis
Pemberian stimulasi elektris ditujukan pada kelompok antagonis , bertujuan melawan otot agonis yang potensial menjadi spastik.
Stimulus antagonis pada stadium awal akan bermanfaat untuk fasilitasi kontraksi dan menghambat pola sinergis yang dapat mengganggu pola gerak. Jenis alat listrik yang digunakan interrupted direct current, interferensi dan TENS.
Dosis pemberian stimulasi 15 – 20 per-menit dengan frekuensi setiap hari minimal 3 minggu.
Pada kondisi yang sudah memasuki stadium recovery dengan gejala spastisitas kuat maka , pemberian stimulus elektris harus dibarengi dengan posisioning pasien secara benar .

2.Aplikasi agonis
Pelaksanaan stimulus elektris pada kelompok agonis bertujuan untuk mencapai target kontraksi secara optimal sehingga otot akan mengalami relaksasi setelah target tepenuhi. Pada metode ini dapat juga digunakan untuk tujuan reposisi pada sendi yang mengalami subluksasi, sehingga dengan kontraksi otot yang dapat mulai memberikan gaya untuk menarik posisi sendi ke arah yang semestinya. Sebagai contoh adalah subluksasi kaput humeri terhadap cavitas glenoidalis yang sering dijumpai pada pasien pasca CVA.
Jenis arus listrik yang digunakan adalah yang bersifat progressive dengan kontraksi tetanik , misalnya arus faradic , IDC dan DIADYNAMIS.

3.Sensory habituation
Teori ini menjelaskan bahwa spastisitas oleh karena adanya mekanisme terlepasnya kontak tonus pada tingkat spinal dan supra spinal akibat adanya informasi sensoris yang tidak benar.
Cranenburgh (1989), mengatakan bahwa daerah yang paling padat dilalui oleh setiap informasi sensoris adalah regio thorakal (Thorakal 1 – 12 ). Pada regio thorakal informasi sensoris berasal dari regio innervasi somatis dan regio innervasi simpatis perifer saling melintasi pada tempat yang sama. Pemberian stimulasi elektris pada level thorakal 1 – 12 (regio thorakal ) akan membantu memberikan informasi yang benar melalui mekanisme “sensory habituation” sehingga setiap impuls langsung sensory yag menuju daerah thorakal diharapkan akan lebih terkendali. Arus listrik yang digunakan adalah stimulus (1) thermal hangat atau dingin pada regio thorakal dan (2) penggunaan arus yang menuju mendepolarisasi sel sensorik pada level somatic maupun sympatis perifer sehingga terjadi adaptasi sensory. Adaptasi sensoris menurunkan ketegangan tonus termasuk spastisitas.

PELAKSANAAN

Stimulasi elektris menggunakan arus interferensi atau thermal hangat (SWD, IR) pada regio punggung sensory habituation dapat dilakukan melaui pemberian stimulasi pada sisi yang sehat untuk mempengaruhi myostatic reflex pada posisi yang lesi.

FISIOTERAPI PADA CARPAL TUNNEL SYNDROME (SLK)


SLK (Sindroma Lorong Karpal) adalah neuropati karena jebakan pada n. medianus di daerah pergelangan tangan . saraf medianus mengalami kompresi pada saat saraf tsb lberjalan dari lengan bawah ke telapak tangan di antara lig transversal ( Stevens JC , 1997 ) . Tanda-tanda dan gejala yang dihubungkan dengan SLK adalah paestesia , rasa tebal pada distribusi sensorik n. medianus yaitu pada ibu jari , jari telunjuk , jari tengah dan sisi radial jari manis , terdapatnya tanda Tinel , tanda Phalen , hipoestesia , nocturnal awakening , dan kadang-kadang kelemahan tangan ( Katz JN , 1990 , Hennessey WJ , 1995 )
Etiologi dari SLK tidak diketahui meski demikian SLK lebih sering terjadi pada pekerja-pekerja dengan gerakan tangan yang berulang-ulang ( seperti pengetik komputer , operator mesin , pelaksana aktivitas rumah tangga ) . SLK mungkin juga disebabkan oleh beban yang berlebihan pada beberapa otot yang lebih kecil , dimana selain faktor ergonomik kelainan medis sistemik seperti DM . penyakit thiroid rematik artritis , gout , kegemukan juga mempengaruhi terjadinya SLK disamping faktor-faktor psikososial
Standar pengobatan SLK ialah terapi konservatif meski kadangkal diperlukan tindakan operasi untuk membebaskan ligamentum karpal transversal . Pengobatan konservatif termasuk mengatur kembali lingkungan kerja dan cara kerja , penggunaan splint pada pergelangan tangan serta pemberian obat-obat anti inflamasi ( Feuerstein dkk , 1999 ) . Injeksi langsung dari steroid ke dalam terowongan karpal hanya memberikan kesembuhan 2 sampai 4 bulan dan pada bulan ke 18 hanya 22% pasien yang bebas dari gejala ( Gelberman , dkk , 1980 ) . Operasi pembebasan lig karpal transversum dilakukan pada 40% – 50% kasus dengan medikal $ 1.9 miliar ( Vennix MJ dkk , 1999 ) . Setelah operasi hampir sepertiga pasien masih mengeluh nyeri dan kehilangan fungsi , hanya 40% memperoleh fungsi normal sedang 5% nya memburuk . Pekerja kantor kembali bekerja pada beberapa minggu sedang pekerja berat membutuhkan rehabilitasi 4 – 6 bulan .

MEKANISME LLLT DALAM MENGATASI NYERI ( Karu TI , 1987 )
1.Peningkatan produksi ATP oleh mitokondria dan peningkatan konsumsi oksigen pada tingkat seluler
2.Peningkatan serotonin dan peningkatan edorfin ( naloxone telah diteliti dapat menghambat efek analgesik dari LLLT dengan laser GaAlAs )
3.Efek anti inflamasi
4.Perbaikan sirkulasi daerah di kulit

MEKANISME TENS MIKROAMPER DALAM MENGATASI NYERI

TENS mikroamper dapat meningkatkan konsentrasi ATP dan sistesis protein di tingkat seluler dengan efek terbesar pada amplitudo sebesar 500 mikroamper . Arus listrik yang lebih besar dari 5 mA dapat menurunkan konsentrasi ATP dan sistesis protein dan pergerakan metabolit transmembran ( Cheng N dkk , 1982 )

Pemeriksaan fisik
1.Pemeriksaan motorik otot-otot intrinsik
2.Tanda Phalen ( 60 detik ) dan tanda Tinel
3.Diskriminasi dua titik
4.Frekuensi parestesia jari-jari
5.Distribusi nyeri termasuk Nocturnal awakening
6.Pemeriksaan / tes kompresi leher serta pemeriksaan sindroma outlet thoracic

Aplikasi tehnologi

1.Laser gelombang infra merah diaplikasikan langsung ke permukaan kulit pada bagian tengah lekukan pergelangan tangan distal yaitu pada titik Akupuntur PC7 dengan dosisi 7 J selama 7,7 menit .
2.TENS diaplikasikan pada PC7 yaitu di tengah-tengah lekukan pergelangan tangan sedang satu elektrode lainnya diletakan pada titik TW4 di dorsum pergelangan tangan , parameter yang digunakan ialah frekuensi 292 Hz selama 2 menit diikuti frekuensi 0,3 Hz selama 18 menit
3.Selama TENS diaplikasikan selama 20 menit laser dibeerikan pada titik-titik akupuntur di daerah pergelangan tangan , tangan dan jari-jari yang berjumlah kurang lebih 11 tiitik . Diisamping itu diberikan pada 5 titik di ekstremitas atas , trapezius dan area paraspinal servikal .

HASIL TERAPI




1.Sebelum terapi 9 dari 11 kasus mengalami tanda Phalen ( 81,8% ) positif sedang setelah terapi hanya 2 orang yang masih positif ( 18,2% )
2.Semua pasien yang mempunyai tanda tinel psitif menghilang setelah pengbatan
3.Skor nyeri rata –rata sebelum terapi 21,87 SD 9,06 setelah di terapi menjadi 3,75 SD 6,52 . Secara keseluruhan 7 dari 8 kasus melaporkan pengurangan nyeri lebih dari 50% .

FISIOTERAPI PADA GANGGUAN SEKSUAL (DISFUNGSI EREKSI)


Problem sex pasca stroke dipengaruhi oleh beberapa factor :


1.Usia
2.Body image
3.Jenis stroke
4.Psikiatris dan emosi
 
Secara general dipengaruhi oleh kemampuan fisik dan daya tahan.

Peningkatan kemampuan fisik dan daya tahan dapat diberikan denga cara pemberian model – model fasilitasi diantaranya :
1.Terapi latihan gerak (exercise therapy)
2.Stimulasi elektris, untuk memperbaiki gerak fungsional
3.Psichotherapy
4.Pendekatan medis secara spesifik dalam berbagai aspek
Secara general model fasilitasi dapat diberikan oleh fisioterapis okupasional terapis dan dokter.

What are some general guidelines for couples resuming sex ?
1.Choose a time when you’re rested, relaxed and free from the stress brought on by the day’s activities
2.wait one to three hours after eating a full meal so digestion can take place
3.select a familiar, Peaceful setting that’s free from interruptions
4.If prescribed by your doctor, take medicine prior to sexual relations

RESPON FISIOLOGIS ALAT SEKSUAL PRIA DAN WANITA

Marcus dan Jhonson membagi respon seksual yang normal menjadi 4 (empat) fase:
1.Massa rangsangan (excitement)
2.Massa dataran tinggi (plateu)
3.Massa orgasme (orgasm phase)
4.Massa peregaan (resolution phase)

Keempat rentetan reaksi diatas merupakan suatu siklus seksual yang lengkap. Massa rangsangan terjadi sebagai akibat dari rangsangan tubuh dan atau rangsangan psikis. Massa ini merupakan massa yang paling panjang. Apabila rangsangan ini dilanjutkan dan tegangan meningkat maka masa rangsangan ini beralih kemassa berikutnya, yakni masa dataran tinggi. Plateu phase ini dengan spontan beralih ke massa orgasme yang singkat (beberapa detik, yang pada pria disertai penyemprotan air mani. Massa berikutnya adalah massa peregaan, yakni massa kembali kedalam keadaan semula.
Kaplan (1974), dikutip oleh MacLean A B, membagi fisiologi respon seksual menjadi 2 (dua) tahap yakni : (1) Tahap Vasokongesti (pengumpulan darah) dan (2) Tahap myiotonia (peningkatan tonus otot)
Fase I atau massa perangsangan terjadi reaksi vasokongesti, dimana reflek dilatasi dari pelvis dan pembuluh – pembuluh darah sekitar vagina menyebabkan distensi vagina bagian bawah, ereksi bulbus dan korpus kavernosa klitoris. Transudasi sepanjang dinding vagina mengeluarkan cairan mirip plasma yang berfungsi sebagai lubrikasi. Perubahan vascular ini dikontrol oleh saraf parasimpatis. Pada pria vasodilatasi pembuluh darah ke penis lalu ereksi dan tonus meningkat.
Fase II atau massa orgasme ditandai dengan peningkatan tonus otot dan reflek klonik otot – otot dasar panggul, spinter ani dan uterus dalam 5 sampai 10 kontraksi ritmis. Respon reflek ini distimulasi melalui klitoris dan kontraksi otot vagina dan otot dasar panggul merupakan efek motorisnya. Pada pria tonus dae rah penis meningkat menjadi lebih tegang dan Cloper’s glands mengeluarkan cairan (fluid).

Male orgasme

For the men, orgasme (which include ejaculation) occurs in two stages : (1) feeling of inevitability dan (2) the ejaculation of semen. The first stage begins with a rising feeling of anxiety that something is soon to be happening inside the pelvic area. The rapid buildup of feeling has an imperative quality to it. The second stage begins with feeling of contraction deep within the pelvic as prostate gland and the seminal vesicles contrac in ejaculation, sepurting the semen out of the uretra. When these feeling of contraction begin, there is no stoping ejaculation, and the men comes in spurts of warm, milky semen.

Respon seksual pada wanita

Daerah genital

Selama massa rangsangan pada wanita, terjadi pembengkakan kelenjar klitoris , vasokongesti dan pembesaran klitoris. Vagina mengalami lubrikasi dalam 10 sampai 30 detik setelah rangsangan dan memanjang serta bewarna biru tua. Uterus sedikit terangkat dan korpus menjadi lebih mudah terangsang. Labia mayora mendatar, terbuka dan terangkat keluar dari liang vagina . Lbia minora membengkak dan menonjol, memudahkan penetrasi oleh penis.
Pada massa dataran tinggi , klitoris mengkerut (retraksi ) di bawah simfisis. Vagina 1/3 distal sedikit melebar, membengkak dan edematous sehingga terbentuk suatu manset orgastik (orgasmic platform), sehingga penis seolah – olah dicengkram lebih erat. Korpus dan serviks uteri terangkat lebih keatas. Labia mayora membengkak, sedang labia minora berubah warna dari merah terang menjadi merah tua menjelang orgasme. Pada tahap ini kelenjar bartholini mengeluarkan satu atau beberapa tetes cairan mucus.
Pada massa orgasme, kontraksi dari manset orgastik pada vagina terjadi sebanyak 6 sampai 12 kali dalam kurun waktu 0,8 detik. Uterus juga berkontraksi sesuai dengan intensitas orgasme.
Selama massa resolusi, klitoris kembali ke posisi semula . 5 sampai 10 detik setelah orgasme, vagina berhenti berkontraksi dan dengan cepat mengendur dan kembali ke warna semula dalam 10 sampai 15 menit. Uterus juga kembali ke posisi semula, tetapi osteum uteri eksternum tetap membuka selama 20 sampai 30 menit. Labia mayora kembali ke besar yang normal dan labia minora berubah warna dari merah terang menjadi merah muda dalam 15 detik dan ukurannya juga mengecil seperti semula.

Ekstragenital

Sejumlah reaksi ekstragenital terjadi selama fase – fase respon seksual pada wanita. Selama massa rangsangan, beberapa perubahan terjadi pada payudara. Papilla mamae terangkat dan membesar disertai pembengkakan disekitar aerola mamae. Bercak eritema terjadi pada fase akhir massa rangsangan, dimulai sekitar epigastrium dan meyebar ke payudara.Terjadi peningkatan tonus otot, baik otot lurik maupun otot polos.
Selama massa dataran tinggi, papilla mamae menjadi ereksi, payudara membesar dan areolanya semakin ereksi. Berkas eritema jelas nampak dan tonus otot meningkat ditandai dengan kontraksi spastis. Takikardia meningkat mencapai 175 kali permenit diikuti peningkatan tekanan sistoloik dan diastolic masing – masing sebesar 20 sampai 60 mmHg dan 10 sampai 20 mmHg.
Pada saat orgasme , bercak eritema sesuai dengan intensitas reaksi . Tonus otot maksimal dengan hilangnya fungsi control, ditandai dengan kontraksi involunter dari sfinter ani. Pernafasan meningkat menjadi 40 kali permenit dan takikardia antara 110 sampai 180 kali permenit. Tekanan darah meningkat antara 30 sampai 50 mmHg sistolik dan 20 sampai 40 mmHg diastolic.
Selam massa resolusi , terjadi pengenduran payudara dan areola mamae dengan cepat. Pengecilan volume payudara lebih lambat , kerja eritema menghilang dengan cepat. Miotonia jarang berlanjut lebih dari 5 (lima) menit setelah orgasme. Hiperventilasi dan takikardia kembali menjadi normal dengan cepat.

Female Organisme

Female experience orgasm with a feeling of suspension that is followed by a climax of intense sensation in the clitoris. The sensation then moves through the pelvic – some say a feeling of “ falling “, “ opening up “ , or “labor pains”. A warmth spreading from the pelvic through the rest of the body may follow

Massa klimakterium

Sejak lahir setiap wanita normal akan mengalami beberapa fase yang merupakan proses alam yang wajar. Kehidupan seorang wanita pada fase – fase terdahulu sangat berpengaruh bagi kehidupan pada fase selanjutnya. Klimakterium dimaksudkan sebagai massa yang bermula dari akhir tingkat reproduksi sampai awal tingkat senium. Massa ini adalah suatu periode penyesuaian diri dengan menurunnya produksi hormone – hormone yang dihasilkan ovarium. Massa klimakterium meliputi massa premenapouse, menapouse, pasca menapouse, ooforopause dan prasenium. Periode ini berlangsung beberapa tahun, kadang sampai lebih dari 10 tahun, antara usia 40 sampai 65 tahun.
- Premenopause merupakan massa 4 sampai 5 tahun sebelum menopause, bilamana telah ada keluhan klimakterium dan perdarahan yang tidak teratur
- Menopause berasal dari bahasa Yunani yang berarti berhenti haid. Menopause terjadi dalam massa klimakterium pada usia sekitar 50 tahun . Pada saat menopause inilah terjadi perdarahan uterus terakhir yang masih dikendalikan oleh ovarium.
- Pasca menopause merupakan massa 3 sampai 5 tahun setelah menopause
- Ooforopause adalah saat ovarium kehilangan sama sekali fungsi hormonalnya.

Proses utama yang mengakibatkan menopause adalah habisnya folikel pada ovarium. Meskipun pada tiap – tiap haid hanya 1(satu) folikel yang mengalami ovulasi tetapi nampaknya kerusakan folikel jauh lebih cepat. Tidak terbentuknya folikel dapat secara tiba – tiba atau secara lambat laun. Makin sedikit folikel yang berkembang makin berkurang pembentukan hormone esterogen, yang menyebabkan ovulasi dan siklus haid menjadi tidak teratur. Keutuhan jarinagan vagina dan vulva juga menurun , demikian pula jaringan alat tubuh lain yang berada di bawah pengaruh esterogen.
Selain gangguan dalam bentuk haid sampai terhentinya haid, wanita dalam massa klimakterium sering mengalami gejala – gejala berikut ini :
1.Hot flushes (semburan panas), yang merupakan sensasi seperti gelombang panas yang meliputi bagian atas dada, leher dan muka yang disusul dengan kringat yang banyak, pada malam hari keadaan ini sangat mengganggu wanita tersebut.
2.Gejala psikologi, berupa rasa takut , tegang , depresi, mudah sedih, lekas marah , gampang tersinggung, gugup dan kondisi jiwa yang tidak stabil.
3.Fatique, yaitu rasa lelah yang diakibatkan berhentinya fungsi ovarium.
4.Atropi, yaitu kemunduran keadaan gizi serta lapisan jaringan. Alat kelamin menjadi kisut, vagina bertambah kecil dan kering sehingga sering mengakibatkan dispareunia, gatal – gatal didaerah kemaluan ,keputihan dan rasa sakit saat berkemih. Keadaan ini memudahkan terjadinya infeksi . Secara umum kulitpun mengalami atropi, rambut menjadi kasar dan jarang , begitu pula rambut ketiak dan sekitar kemaluan, sampai akhirnya hilang sama sekali.
5.Insomnia
6.Pusing atau sakit kepala
7.Rasa sakit pada seluruh anggota tubuh
8.Menurunnya libido
9.Berdebar – debar (palpitasi)

GANGGUAN FUNGSI SEKSUAL PADA PRIA

Dari sekian banyak gangguan fungsi seksual pada pria, yang 0paling sering ditemukan adalah gangguan fungsi ereksi. Diperkirakan, 1 dari 2 pria berusia 40 – 70 tahun mengalami penurunan kualitas ereksi.
Suatu ereksi dikatakan normal jika pada saat bercumbu bias mendapatkan ereksi yang keras sampai kaku, lalu bias melakukan penetrasi dan bertahan sampai ejakulasi. Bila bisa mencapai ereksi tapi ketika akan dilakukan penetrasi kemudian penis menjadi lemas atau bila sama sekali tidak dapat mencapai ereksi, maka dipastika mengalami gangguan fungsi ereksi.

Apa yang terjadi saat ereksi?
Di sepanjang penis terdapat dua struktur yang menyerupai busa spons, yaitu korpus kavernosa. Penis juga memiliki pembuluh darah yang terdiri dari atreri dan vena untuk mengalirkan darah ke dan dari penis.
Jika sinyal dari otak telah sampai ke penis, maka akan dilepaskan zat kimia nitrogen oksida (NO). NO menyebabkan meningkatnya kadar cGMP (siklik guanosisn mono fosfat) yang akan membuka pembuluh darah dan melemaskan otot-otot di dalam korpus kavernosa sehingga darah akan lebih banyak masuk. Sementara itu, vena akan tertekan menahan darah di dalam penis. Adanya darah ekstra ini akan meningkatkan tekanan dan menyebabkan penis menjadi keras dan membesar.

Penyebab gangguan fungsi seksual

Faktor fisik
•Diabetes
•Operasi prostat
•Tekanan darah tinggi
•Penyakit jantung
•Kolesterol tinggi
•Gagal ginjal
•Stroke, cedera tulang belakang
•Sklerosis multiple

Faktor Psikis
•Depresi
•Stress
•Kecemasan
•Kurang rasa percaya diri
•Konflik
•Kehilangan orang yang dicintai
•Perubahan status social
•Kelelahan
•Pikiran negatif, diman ahubungan bisa mempengaruhi kemampuan pasangan suami istri untuk berfungsi secara utuh dan benar

Faktor lain
•Merokok
•Alkohol
•Diet yang buruk
•Efek samping obat – obatan (misalnya anti depresi, anti-hipertensi)

STIMULASI ELEKTRIS PADA DISFUNGSI EREKSI

SARAT ARUS LISTRIK SEBAGAI STIMULASI ELEKTRIS:

- Melalui reseptor kulit (transcutaneus) dengan reseptor spesifik
- Arus listrik dengan modifikasi (frekuensi pulsa, durasi pulsa, intensitas pulsa)
- Respon stimulasi elektris terhadap saraf somatis dan simpatis.
- Spesifikasi jaringan atau organ yang dituju untuk mendapatkan efek terapeutik yang diharapkan

Tujuan
1.Fasilitasi kontraksi otot
2.Memperbaiki vasomotor corpus karvernosum
3.Sensory erection habituation
4.Memacu mekanisme ereksi

Pelaksanaan :
1.Frekuensi rendah
2.Frekuensi menengah

APLIKASI ENS PADA DISFUNGSI EREKSI DENGAN ARUS DIADYNAMIS:

1. Lokal (regional)
Posisi pasien : Tidur tengkurap
ENS : DIADYNAMIS gelombang LP, MF+LP
Penempatan elektrode
Saraf somatis : Lumbosacaral
Katode : Lumbosacara
Anode : Regio inguinal
Dosis : I(Intensitas) X t (waktu)
I = mitis
t = 10-20 menit

2. Segmental somatis (Area dermatom)
Posisi pasien : Tidur tengkurap
ENS : DIADYNAMIS gelombang LP,MF+LP
Penempatan elektrose
Katose : Lumbosacral
Anode : Regio Adduktor hip proksimal
Dosis : I (intensitas) X t (waktu)
I = mitis
t = 10-20 menit

3. aplikasi segmental simpatis
Posisi pasien : tidur tengkurap
ENS : DIADYNAMIS gelombang CP, Cpid
Penempatan elektrode
Katode : Th 11 – Th 12
Anode : Lumbosacral
Dosis : I (intensitas) X t (waktu)
I = fortis
T = 10 – 20 menit
catatan:
t1 = 10 menit pertama, t2 = 10 menit kedua dengan pergantian polaritas anode ke katode dan sebaliknya


Pemberian stimulasi elektris pada gangguan seksualitas dapat diberikan dengan arus listrik frekuensi rendah maupun arus listrik frekuensi menengah yang tergabung dalam modalitas sebagai TENS. Stimulasi elektris bukan merupakan suatu terapi tunggal tetapi dapat dimodifikasi dengan terapi elektris yang tergabung dalam modalitas sumber fisis dan modalitas terapi latihan (exercise therapy) yang spesifik. Kompleksitas masalah gangguan fungsi ereksi juga diperlukan kerjasama multi diplioner yang terkait dalam penanganan gangguan seksualitas.

GANGGUAN FUNGSI SEKSUAL PADA WANITA

Gangguan fungsi seksual pada wanita sering terjadi akibat menurunnya fungsi organ reproduksi yang berhubungan dengan wanita usia lanjut (Wulan).

Sex pada wulan

Beberapa wanita meningkat libido dan aktivitas sex nya selama ovulasi dan menurun menjelang menstruasi, hal ini disebabkan pengaruh hormone estrogen, namun tidak benar bahwa wulan dengan kadar estrogen yang rendah tidak dapat mengalami respon seks yang normal, bahkan beberapa mengatakan libido meningkat setelah menopause oleh karena hilangnya kekhawatiran terhadap kehamilan. Namun penelitian Halllstrom (1977) menunjukkanterjadinya penurunan rangsangan seks, frekwensi koitus, dan kapasitas orgasmen setelah menopause. Tampaknya penipisan mukosa vagina, kekeringan, danm mengurangi elastisitas karena penurunan kadar estrogen berperan terhadap penurunan fungsi seksual ini.
Kinsey. Dkk (1953) menyatakan bahwa penurunan aktivitas sex pada wanita sejalan dengan bertyambahnya umur dan pada WULAN, orgasme lebih mudah dicapai dengan masturbasi dibandingkan dengan coitus biasa. 75% dari pasangan berumur 50 tahun masih melakukan seks secara aktif dan lebih Dari 50% pasangan berumur lebih dari 75 tahun tetap melakukan koitus.
Pada WULAN perubahan pada vasokongesti, pembengkakakn pudendus dan lubrikasi vagina menurun dan terhambat, sedangkan masa peredaan (resolusi) lebih cepat terjadi ( kellet, 1988) trauma suwaktu koitus pada dinding vagina dan uretra mengakibatkan dispareunia dan disuria.
Perubahan anatomi dan fisiologi seksualitas pada wulan sering mengakibatkan kelemahan otot – otot dasar panggul. Kelemahan otot dasar panggul juga dapat diakibatkan oleh adanya kondisi patologi tertentu misalnya : cystocele, atau uretrocele dan rectocele serta prolaps uteri.

Otot dasar panggul
Otot lapisan dalam tersebut muscle of the perineum sangat berperan dalam mempertahankan fungsi vagina sewaktu berkontraksi saat aktivitas seksual. Otot ini terdiri dari :
1.Otot ischio cavernous
2.Bulbocavernous
3.Deep perineal muscle (urogenital diaphragm)
4.Sphincter ani eksternal.

Otot lapisan luar disebut levator ari
Otot yang terdiri dari pubococcigeus, iliococcygeus  otot dasar panggul dapat menjadi lemah/ weaknes :
pelvic floor muscle weakness, Oleh karena kelainan anatomi: Cystocele/Uretrocele, Rectocele & prolaps uteri

Tanda-tanda pelvic floor muscle weaknes
1.Inkontinensia psikis
2.Kelainan anatomi (missal: Cystole)
3.Vagina Laxity
4.Prolaps uteri

Aktivitas seksual terganggu:
1.Nyeri
2.Tidak nyaman
3.Keluhan pada bladder dan bowel

PENATALAKSANAAN STIMULASI ELEKTRIS PADA GANGGUAN SEKSUALITAS PADA WANITA

pemasangan elektrode intra vaginal untuk pemeriksaan dan untuk aplikasi stimulasi elektris dengan metode lokal intra vaginal, aplikasi stimulasi elektris regional, aplikasi stimulasi elektris segmental simpatis dipisah

Untuk Memperkuat Otot-Otot Dasar Panggul Dapat Diberikan Latihan Penguatan Setelah Diberikan Stimulasi Elektris Dengan Metode Kegel Exercise

Prinsip dasar kegal exercise (latihan metode kegal)

Prinsip dasar latihan kegal:
Posisi dasar tidur/ berbaring terlentang ( seperti gambar)
Lakukan 5 tahapan:
1.Kontraksikan otot gluteus (pantat), tahan sampai 5 hitungan, kerjakan secara kuat kemudian pelan dan diselingi istirahat sebentar.
2.Ketika mengerjakan (1) kontraksikan otot paha (adductor longus) dan ulur pinggang seolah-olah datar, tahan sampai 7 hitungan.
3.Selama mengerjakan (2) kontraksikan anus seolah-olah menahan buang air besar secara kuat.
4.Pasakan kontraksi otot (1) (2) (3) seolah-olah secara kontinyu vagina ikut berkontraksi dan ureter seakan menahan urine yang mau keluar.
5.Sambil mengerjakan (1) (2) (3) (4) tekan punggung ke bawah hingga otot perut bagian bawah berkontraksi secara static, tahan selama 8 hitungan.
Latihan ini dapat dikerjakan pada posisi duduk, berdiri bahkan pada saat aktivitas, dilakukan selama 3X sehari.

Yang perlu diingat:
1.Latihan dikerjakan dengan durasi minimal 5 menit, dengan frekwensi 3 kali setiap hari.
2.Tahan dengan kontraksi static otot dasar panggul sewaktu melakukan aktivitas berat seperti mengangkat beban atau meloncat.
3.Kerjakan dengan ritmis dan tekun serta tidak membebani psikis.
4.Tanyakan pada fisioterapis atau dokter apabila ada hal-hal yang meragukan selama melakukan latihan ini.