Carpal Tunnel Syndrome (CTS)
SUMBER:http://fisiobjm.blogspot.com/
1. Definisi
Carpal Tunnel Syndrome (CTS) adalah
kumpulan gejala akibat penekanan pada nervus medianus ketika melalui
terowongan carpal (Carpal Tunnel) di pergelangan tangan. Manifestasi
dari sindroma ini adalah rasa nyeri dan kesemutan (paraesthesia)
(Sidharta, 1996).
Menurut
Samuel, 1999 CTS merupakan neuropati tekanan/kompresi terhadap nervus
medianus di dalam terowongan carpal pada pergelangan tangan, tepatnya di
bawah flexor retinaculum. Terowongan carpal terdapat di bagian sentral
dari pergelangan tangan di mana tulang dan ligamentum membentuk suatu
terowongan sempit yang dilalui oleh beberapa tendon dan nervus medianus.
Tulang-tulang karpalia membentuk dasar dan sisi-sisi terowongan yang keras dan
kaku sedangkan atapnya dibentuk oleh flexor retinakulum (transverse
carpal ligament dan palmar carpal ligament) yang kuat dan melengkung di
atas tulang-tulang karpalia tersebut. Setiap perubahan yang mempersempit
terowongan ini akan menyebabkan tekanan pada struktur yang paling
rentan di dalamnya yaitu nervus medianus.
2. Anatomi Dan Biomekanika Wrist
Wrist
Joint disusun oleh 3 tulang : tulang radius, tulang ulna dan tulang
carpal. Dimana terowongan carpal terletak dipergelangan tangan yang
kerangkanya di bentuk oleh 8 tulang carpal yang tersusun atas 2 deretan.
Deretan proximal terdiri dari (lateral dan medial : naviculare,
lunatum, triquertum, dan pisiformis). Deretan distal (trapezium, trapezoideum, capitatum dan hamatum).
Tulang-tulang carpal tangan susunannya membusur dengan bagian konkaf
menghadap ke arah telapak tangan. Ruangan ini tertutup oleh ligamentum
karpi transversum sehingga terbentuk suatu terusan yang sempit yang
disebut terowongan carpal.
Terowongan carpal ini mengandung banyak struktur, yaitu :
- Empat tendo dari m. flexor digitorum superfisialis
- Empat dari m. flexor digitorum profundus
- Tendo dari m. flexor pollicis longus
- N. medianus (De Wolf, 1994)
Nervus medianus, terbentuk dari fasikulus lateralis asal radiks C5, C6, C7 dan fasikulus medialis C8 dan T1. Saraf medianus
di atas siku tidak mempunyai cabang-cabang artikuler menuju sendi siku
cabang muskuler mempersarafi pollicis longus, pronator quadratus.
Setelah memberi cabang pada otot-otot lengan bawah untuk berbagai
gerakan lengan dan jari-jari tangan di bawah ligamentum carpi
transversal syaraf medianus bercabang dua, yang lateral (motorik)
mempersyarafi otot abductor pollicis brevis, flexor pollicis brevis,
oponen pollicis dan otot lumbricalles kesatu dan kedua, sedang cabang
medial (sensorik) mempersyarafi bagian volar jari-jari 1, 2, 3 dan ½
jari ke 4 (sisi lateral) serta bagian tengah sampai sisi radial juga
dipersyarafi oleh n. medianus.
3. Etilogi
Pada dasarnya s
etiap
keadaan yang menyebabkan tekanan/kompresi pada nervus medianus dalam
lorong carpal dapat merupakan etiologi CTS. CTS disebabkan oleh : (1)
Idiopatik, (2) Penebalan jaringan ikat seperti Rematik (RA, OA), (3)
Gangguan metabolisme, (4) Trauma, dapat bersifat kronik pada pergelangan
tangan karena over use, (5) Heriditer berupa sempitnya terowongan
carpal. Karakteristik dari CTS yaitu adanya peningkatan rasa baal pada
jari-jari waktu bangun pagi hari disertai kesemutan/rasa terbakar,
gangguan motorik jari-jari, nyeri pada sendi-sendi interphalangeal serta
hipotropi otot-otot tenar pada kondisi lebih lanjut (Sidharta, 1996).
4. Perubahan Patologi
Kontraksi
otot secara berulang-ulang atau terus-menerus dan statik akan
menimbulkan spasme, sehingga sirkulasi darah menjadi tidak lancar. Hal
ini akan menyebabkan penumpukan Asam laktat dan zat-zat kimia seperti
bradikinin dan histamin
e.
Dengan penumpukan zat-zat tersebut akan merangsang ujung-ujung saraf
sensoris atau saraf nyeri (nosiseptor) dan akan dihantarkan ke medulla
spinalis selanjutnya oleh saraf acendent disampaikan ke otak dan akan
diinterprestasikan yaitu rasa nyeri. Dengan adanya rasa nyeri tadi
bisa mengakibatkan spasme otot yang merupakan perlindungan dari adanya
nyeri, dan penderita akan membatasi pergerakkannya terutama yang
menimbulkan rasa nyeri. Selanjutnya dalam jangka waktu lama dapat timbul
kelemahan
otot yang akhirnya menimbulkan gangguan fungsi dan gerak yang berhubungan dengan fungsi tangan kiri.
CTS
terjadi bila saraf medianus mengalami kompresi dalam struktur anatomis
terowongan karpal. Kompresi dapat disebabkan oleh meningkatnya volume
dalam terowongan karpal, pembesaran saraf medianus, atau berkurangnya
area cross-sectional dalam terowongan karpal. Dari ketiga penyebab ini,
yang menjadi penyebab terbanyak adalah meningkatnya volume terowongan
karpal, namun apa yang menjadi penyebab peningkatan volume ini masih
belum jelas hingga saat ini. Diduga salah satu penyebab adalah
tenosinovitis akibat trauma berulang
(Phallen,
1951; Nissen, 195; Hybinette, 1975). Gerakan flexi-extensi berulang dan
terus menerus pada pergelangan tangan dan jari-jari akan meningkatkan
tekanan pada tendon yang mengakibatkan terjadinya tenosinovitis dan
selanjutnya menyebabkan kompresi pada saraf medianus. Fuchs, Nathan, dan
Mayers (1991), menemukan adanya proses inflamasi pada 10 % pasien,
sedangkan pada penelitian lain ditemukan adanya oedema pada 7 % pasien
(Cailliet, 1994).
Kompresi
ringan pada saraf tepi akan menurunkan aliran darah epineural.
Transport aksonal akan terganggu, akibat kompresi aksonal tekanan dalam
endoneural akan meningkatkan dan menyebabkan parestesia. Oleh Caillet
(1994), kelainan saraf ini dikategorikan menjadi dua stadium, yaitu :
a. Stadium I
Distensi
kapiler intrafasikuler akan meningkatkan tekanan intrafasikuler
sehingga menimbulkan konstriksi kapiler. Selanjutnya terjadi gangguan
nutrisi dan hipereksitabilitas serabut saraf. Jika tekanan terus menerus
hingga mengganggu sirkulasi vena, akan terjadi oedema sehingga terjadi
gangguan saraf lebih lanjut.
b. Stadium II
Terjadi
kompresi kapiler sehingga menyebabkan anoksia dan berakibat kerusakan
endotel kapiler. Protein masuk ke dalam jaringan dan menyebabkan
terjadinya oedem lebih lanjut. Protein tidak dapat keluar melalui
perineurium sehingga terjadi akumulasi cairan dalam endoneurial yang
akan menghambat metabolisme dan nutrisi aksonal. Proliferasi fibroblas
terjadi akibat iskemia ini dan terbentuk jaringan parut yang akan
menyebabkan kontriksi jaringan lunak sekitarnya. Pada stadium akhir ini,
lesi saraf dapat menjadi ireversibel dan menyebabkan gannguan sensorik
dan motorik permanen.
5. Tanda Dan Gejala Klinis
Umumnya keluhan timbul berangsur-angsur dan yang spesifik adalah :
a. Rasa
nyeri di tangan yang biasanya timbul di malam atau pagi hari dan
penderita sering terbangun karena nyeri ini. Penderita sering berusaha
sendiri mengatasi keluhannya dengan meninggikan letak tangannya, dengan
menggerak-gerakkan tangan atau mengurut, ternyata rasa nyeri dapat
dikurangi. Keluhan juga berkurang bila tangan/pergelangan lebih banyak
istirahat dan sebaliknya.
b. Rasa kebas, semutan, kurang berasa, tingling (seperti kena strom) biasanya jari 1, 2, 3 dan ½ jari ke 4 tapi tak pernah keluhan pada jari 5.
c. Kadang-kadang
rasa nyeri dapat terasa sampai lengan atas dan leher, tapi rasa kebas,
semutan hanya terbatas distal pergelangan tangan saja.
d. Jari-jari, tangan dan pergelangan bengkak dan kaku terutama pagi hari dan menghilang setelah mengerjakan sesuatu.
e. Gerakan jari kurang terampil seperti menyulam/memungut benda kecil.
f. Ada juga penderita yang datang dengan keluhan otot telapak tangannya mengecil dan makin lama makin ciut.
Tanda-tanda yang dapat ditemukan secara umum (Sidharta, 1996) :
a. Test tinnel positif
b. Nyeri di sendi-sendi interphalangeal
c. Kelemahan otot-otot yang disyarafi nervus medianus (tahap lanjut).
d. Hipotropi otot-otot thenar merupakan manifestasi lebih lanjut
6. Klasifikasi CTS
Menurut
Kazt (1990), kriteria diagnostik dibuat berdasarkan pengalaman klinis
para paneliti, banyak gejala pasien ditemukan pada perbatasan dari kelas
klasifikasi yang satu dengan yang lainnya.
a. Derajad 0 : Asimtomatik
1) Tidak ada gejala dan tanda CTS
2) Pemeriksaan konduksi saraf sensorik dan motorik
mungkin ditemukan kelainan pada sekitar 20 % populasi
3) Tidak memerlukan terapi
b. Derajat 1 : Simtomatik Intermiten
1) Parastesia tangan intermiten
2) Tidak ada defisit neurologis
3) Salah satu tes provokasi mungkin positif
4) Pemeriksaan konduksi saraf sensorik dan motorik mungkin tidak normal
5) Terapi konservatif
c. Derajad 2 : Simtomatik Persisten
1) Defisit neurologis sesuai dengan distribusi saraf medianus
2) Tes provokasi positif
3) Pemeriksaan konduksi saraf sensorik dan motorik tidak normal
4) Terapi konservatif atau operatif
d. Derajad 3 : Berat
1) Atrofi otot thenar
2) Pemeriksaan elektromiografis: fibrilasi atau neuropati unit motorik
3) Terapi operatif
Komplikasi
yang mungkin timbul pada Carpal Tunnel Sindroma (CTS) oleh karena
kompresi antara lain : (1). Athrofi otot-otot thenar, (2). Gangguan
sensorik yang mengenai bagian radial telapak tangan serta sisi palmar
dari tiga jari tangan yang pertama, (3). Deformitas “ape hand” (ibu jari
sebidang dengan tangan dan athropi otot-otot thenar ), tidak mampu
menjauhkan atau memflexikan ibu jari/melakukan abduksi dalam bidangnya
sendiri, gengggaman tangan melemah, terutama ibu jari dan telunjuk, dan
jari-jari ini cenderung mengadakan hyperextensi dan ibu jari abduksi,
tidak mampu memfleksikan phalank distal ibu jari dan jari telunjuk.
8. Diagnosa
Diagnosa medis merupakan diagnosa yang diberikan dokter. Dalam pemeriksaan dijumpai adanya keluhan nyeri gerak daerah medianus pergelangan tangan flexi, test phalen dan test tinnel. Seluruh pemeriksaan diatas dilakukan pada kedua tangan, sehingga dalam kasus ini diagnosa medis sebagai Carpal Tunnel Syindrome.
Diagnosa
STK ditegakkan selain berdasarkan gejala-gejala di atas juga didukung
oleh beberapa pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan menyeluruh pada
penderita dengan perhatian khusus pada fungsi, motorik, sensorik dan
otonom tangan. Beberapa pemeriksaan dan tes provokasi yang dapat
membantu menegakkan diagnosa STK adalah :
a) Flick's sign.
Penderita diminta mengibas-ibaskan tangan atau menggerak-gerakkan
jari-jarinya. Bila keluhan berkurang atau menghilang akan menyokong
diagnosa STK. Harus diingat bahwa tanda ini juga dapat dijumpai pada
penyakit Raynaud.
b) Thenar wasting. Pada inspeksi dan palpasi dapat ditemukan adanya atrofi otot-otot thenar.
c) Menilai kekuatan dan ketrampilan serta kekuatan otot secara manual maupun dengan alat dinamometer. Penderita diminta untuk melakukan abduksi maksimal palmar lalu ujung jari 1 dipertemukan
dengan ujung jari lainnya. Di nilai juga kekuatan jepitan pada ujung
jari-jari tersebut. Ketrampilan/ketepatan dinilai dengan meminta
penderita melakukan gerakan yang rumit seperti menulis atau menyulam.
d) Wrist extension test.
Penderita melakukan ekstensi tangan secara maksimal, sebaiknya
dilakukan serentak pada kedua tangan sehingga dapat dibandingkan. Bila
dalam 60 detik timbul gejala-gejala seperti STK, maka tes ini menyokong
diagnosa STK.
e) Phalen's test.
Penderita melakukan fleksi tangan secara maksimal. Bila dalam waktu 60
detik timbul gejala seperti STK, tes ini menyokong diagnosa. Beberapa
penulis berpendapat bahwa tes ini sangat sensitif untuk menegakkan
diagnosa STK.
f) Torniquet test.
Dilakukan pemasangan tomiquet dengan menggunakan tensimeter di atas
siku dengan tekanan sedikit di atas tekanan sistolik. Bila dalam 1 menit
timbul gejala seperti STK, tes ini menyokong diagnosa.
g) Tinel's sign.
Tes ini mendukung diagnosa hila timbul parestesia atau nyeri pada
daerah distribusi nervus medianus kalau dilakukan perkusi pada
terowongan karpal dengan posisi tangan sedikit dorsofleksi.
h) Pressure test.
Nervus medianus ditekan di terowongan karpal dengan menggunakan ibu
jari. Bila dalam waktu kurang dari 120 detik timbul gejala seperti STK,
tes ini menyokong diagnosa.
i) Luthy's sign (bottle's sign). Penderita
diminta melingkarkan ibu jari dan jari telunjuknya pada botol atau
gelas. Bila kulit tangan penderita tidak dapat menyentuh dindingnya
dengan rapat, tes dinyatakan positif dan mendukung diagnosa.
j) Pemeriksaan sensibilitas.
Bila penderita tidak dapat membedakan dua titik (two-point
discrimination) pada jarak lebih dari 6 mm di daerah nervus medianus,
tes dianggap positif dan menyokong diagnosa.
k) Pemeriksaan fungsi otonom.
Diperhatikan apakah ada perbedaan keringat, kulit yang kering atau
licin yang terbatas pada daerah innervasi nervus medianus. Bila ada akan
mendukung diagnosa STK.
9. Diagnosa Banding
Sebagai diagnosis banding pada syndrome ini adalah kondisi-kondisi seperti Cervical Spondylosis, ditandai
adanya : (a) Kerusakan radiks multiple, kadang asimetris, mengenai
anggota gerak atas disertai atropi otot dan hiporeflexi pada daerah
persyarafan radiks terkait, (b) Penekanan medulla spinalis daerah
cervical, terlihat hiper-reflexi anggota gerak bawah, reflek patologis
dan selanjutnya kelemahan anggota gerak bawah. Perlu diingat bahwa
gejala gangguan sensorik pada tangan disertai spastisitas anggota gerak
bawah terjadi pada penderita diatas 50 tahun dapat disebabkan oleh
spondilasis cervicalis dengan mielopati, sempat dapat dibuktikan bahwa
bukan karena itu (periksa kadar vitamib B12). Gejala serupa dapat juga
disebabkan oleh tumor pada foramen magnum atau kelainan fossa posterior
yang dikenal sebagai malformasi chiari terutama pada penderita usia
muda.
Syndrome
“ Thorachic outlet” ini merupakan gejala dan tanda yang terjadi akibat
penekanan arteri subclavia dan plexus brakhialis pada pintu atas rongga
dada antara costa pertama dengan klavikula. Sindroma ini terdiri dari
rasa nyeri dan paresthesia pada leher, bahu, lengan dan tangan ( C8-T1),
kelemahan tangan, perubahan warna kulit tangan yaitu jari-jari menjadi
pucat, dan pada penggunaan anggota gerak atas gejala- gejala tersebut
makin jelas.
10. Prognosis
Mayoritas
para penderita CTS mengeluh tentang nyeri disendi-sendi
interphalangeal. Hypertrophy otot-otot thenar merupakan manifestasi
lanjut dari CTS. Sesekali fenomena Reynold terdapat pada penderita CTS.
Pada kasus CTS ringan dengan terapi konservatif umumnya prognosa baik,
secara umum prognosa post operasi juga baik (18 bulan). Adapun
komplikasi yang timbul setelah operasi dijumpai adanya kelemahan dan
hilangnya sensibilitas yang persisten di daerah
disribusi nervus medianus. Komplikasi yang paling berat adalah reflex
sympathetic dystrophy yang ditandai dengan nyeri hebat, hiperalgesia,
disestesia dan gangguan tropik. Sekalipun prognosa CTS dengan terapi
konservatif cukup baik, tetapi resiko untuk kambuh kembali masih tetap
ada. Bila terjadi kekambuhan, prosedur terapi baik konservatif atau
operatif dapat diulangi kembali.
11. Penatalasanaan Fisioterapi
Pemeriksaan
subyektif meliputi keluhan utama dan riwayat penyakit sekarang, onset
terasa, riwayat penyakit dahulu seperti trauma pada daerah lengan bawah
hingga tangan, faktor pencetus, lokasi nyeri setempat pada siku dan
tangan atau mungkin terdapat keluhan pada daerah leher, interpretasi
sifat dan kualitas nyeri selama 24 jam, aktifitas fisik yang dapat
memperberat atau memperingan nyeri, riwayat perjalanan nyeri yang
menetap terus – menerus atau kumat – kumatan, apakah mengganggu
aktifitas fungsional keseharian, sosial dan pekerjaan.
Pemeriksaan obyektif meliputi inspeksi postur leher, atropi otot – otot yang diinnervasi saraf medianus, tropic change, ekspresi wajah saat gerakan dengan menggunakan tangan kanan seperti : menggenggam atau menjumput.
Pemeriksaan neurologis untuk mengidentifikasi defisit sensoris dan motoris meliputi : reflek fisiologis dan patologis.
Pemeriksaan khusus meliputi :
1. Derajat nyeri dengan Visual Analogue Scale (VAS)
Pasien
diminta menunjukkan derajat nyeri pada garis sepanjang 10 cm, dimana
titik ujung 0 menunjukkan tidak nyeri dan titik ujung 100 menunjukkan
nyeri tak tertahankan, jarak antara titik ujung 0 dengan titik yang
ditunjuk pasien merupakan gambaran derajat nyeri yang dirasakan pasien.
2. Tes Traksi dan Distraksi Cervical
Dilakukan tes traksi dan distraksi/kompresi pada cervical selama 5 detik pada posisi rotasi, lateral fleksi dan ekstensi.
3. Tes Phalen`s
Tangan
pasien pada posisi palmar fleksi full ROM dipertahankan selama
kira-kira 30 detik. Jika muncul keluhan nyeri dalam waktu tersebut
mengindikasikan bahwa hasil tes positif.
4. Tes Prayer`s
Tangan
pasien pada posisi dorsi fleksi full ROM dipertahankan selama kira –
kira 30 detik. Jika muncul keluhan nyeri dalam waktu tersebut
mengindikasikan bahwa hasil tes positif.
5. Tes Tinel
Tes
ini mendukung diagnosa jika timbul parestesia atau nyeri pada daerah
distribusi nervus medianus kalau dilakukan perkusi pada carpal tunnel
dengan posisi tangan sedikit dorsi fleksi. Jika muncul keluhan nyeri
yang menjalar sepanjang distribusi saraf medianus mengindikasikan bahwa
hasil tes positif.
6. Median Nerve Test (ULTT 1)
Depresi
bahu dengan fleksi siku hingga 90°, abduksi bahu dengan fleksi siku
hingga 90°, eksorotasi bahu, siku dan jari ekstensi dengan lengan bawah
supinasi dan siku ekstensi. Setiap gerakan dilakukan sampai titik uncomfortable melalui feedback dari pasien (Ekstrom dan Holden, 2002).
7. Radial Nerve Test (ULTT 2)
Depresi
bahu dengan siku difleksikan hingga 90° diikuti pronasi lengan bawah,
ekstensi siku, fleksi siku dan jari lalu abduksi bahu.
a) Problematik Fisioterapi
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan tersebut maka problematik fisioterapinya adalah :
1. Impairment
Nyeri, spasme otot, penurunan kekuatan otot, tropic change.
2. Functional Limitation
Keterbatasan
fungsional berupa gangguan aktifitas saat berkendara sepeda motor,
memasak, mencuci, menyapu dan gangguan menggenggam.
3. Disability / Participation Restriction
Merupakan
ketidakmampuan pasien dalam melakukan aktifitas yang berhubungan dengan
pekerjaan, hobi dan interaksi sosial. Pada kasus carpal tunnel syndrome tidak mengganggu aktifitas bekerja, hobi dan interaksi sosialnya.
b) Intervensi Fisioterapi
Penatalaksanaan fisioterapi pada kasus carpal tunnel syndrome
untuk mengurangi nyeri sangat beragam, tetapi disini penulis hanya
menggunakan Microwave diathermi, ultrasonik, dan mobilisasi saraf tepi.
1. Microwave Diathermi (MWD)
Seperti layaknya shortwave diathermy, pada microwave diathermy
masih terjadi perdebatan mengenai efek terapeutik secara spesifik,
tidak ada bukti jelas yang mendukung selain efek panas/termal.
McMeeken dan Bell tahun 1990 mengaplikasikan MWD
pada dosis klinis terjadi peningkatan temperatur kulit sebesar 10° dan
aliran darah dalam dan superfisial lengan bawah dan tangan pada subyek
normal, respon tersebut berlangsung hingga 20 menit setelah aplikasi
(Low, 2000).
Pada
pemberian MWD terjadi peningkatan temperatur intramuskular diikuti
peningkatan aliran darah sebesar 85% pada anjing setelah paparan MWD
selama 15 menit, yang hanya terjadi setelah mencapai ambang rangsang
temperatur kritis (Low, 2000).
2. Ultrasonik
Terjadinya destruksi sel pada penggunaan pulsed-ultrasound 1 MHz dengan aplikasi underwater dosis equivalent
intensitas 0,08 W/cm², sedang Fahnestock et al, (1989) dikutip Baker et
al (2001) melaporkan terjadinya sel lisis atau permeabilisasi sel
setelah paparan pada neuroblastoma dengan frekuensi 1 MHz kontinyus
ultrasonik spatial peak dose 1 W/cm². Kerusakan sel terjadi in vitro dikarenakan kavitasi, yang tidak termasuk dalam faktor intensitas terapeutik (Harvey et al, 1987 yang dikutip Baker et al, 2001).
Efek
biofisika ultrasonik terbagi menjadi efek termal dan non-termal. Efek
termal yang menghasilkan panas dapat meningkatkan aktifitas metabolik,
aliran darah dan efek analgesik pada saraf, serta diklaim juga
meningkatkan ekstensibilitas jaringan kolagen (Baker et al, 2001).
Sedang efek non-termal yaitu terjadinya kavitasi.
Tidak
ada bukti langsung ultrasonik bermanfaat terhadap permeabilitas
membran, tetapi adanya perubahan sintesis protein, degranulasi mast sel,
produksi growth factor, uptake kalsium dan mobilitas
fibroblast (ter Haar, 1999 dikutip Baker et al, 2001). Perubahan
permeabilitas membran sel darah merah pada tempat homogen yang
didasarkan pada deteksi peningkatan potasium ekstraseluler setelah
paparan ultrasonik kontinyus 1 MHz intensitas 0,5 – 3 W/cm², perubahan
tersebut juga dapat menyebabkan mikrotrauma (Lota dan Darling, 1955
dikutip Baker et al, 2001). Tidak hanya trauma mekanik yang menyebabkan
mast sel degranulasi, tetapi ultrasonik juga meningkatkan permeabilitas
membran sel pasif, kerusakan dasar membran merangsang angiogenesis
(Hanahan, 1996 dikutip Baker et al 2001).
Penelitian
pada otot manusia menunjukkan bahwa setelah 10 menit aplikasi
ultrasonik kontinyus 1 MHz intensitas 1,5 W/cm² dengan 20 cm² aplikasi
tranduser pada daerah kulit seluas 80 cm², temperatur gastrocnemius pada kedalaman 3 cm meningkat 5°C (Draper et al, 1993 dikutip Baker et al, 2001). Pada penelitian in vivo
hingga 1997, hanya satu penelitian tentang efek pemanasan ultrasonik
pada ekstensibilitas ligamen. Penelitian yang dilakukan pada ligamen collateral lateral dan medial
dengan dosis klinis 1,5 W/cm², 1 MHz selama 8 menit, terjadi
peningkatan ekstensibilitas tetapi peningkatannya tidak signifikan
(Reed, 1997 dikutip Baker et al, 2001).
Penelitian yang terbaru membandingkan antara ultrasonik dengan laser terapi pada penderita carpal tunnel syndrome, dimana ultrasonik lebih efektif dalam perbaikan tingkat nyeri yang sebanding dengan pemberian splinting
atau suntikan kortikosteroid tetapi tidak termasuk komplikasi atau
keterbatasannya (Burk et al, 1994 dikutip Bakhtiary dan Rashidy, 2004).
Ultrasonik mungkin dapat mempercepat proses penyembuhan pada kerusakan
jaringan, dimana mekanisme terjadinya terbukti dalam penelitian yang
dilakukan Bakhtiary dan Rashidy (2004) yang membandingkan antara
ultrasonik dan laser terapi dimana ultrasonik lebih signifikan dalam
mengurangi nyeri, meningkatkan kekuatan menggenggam, merubah parameter
elektrofisiologi saraf kearah normal dibandingkan dengan laser terapi
pada pasien dengan carpal tunnel syndrome ringan hingga sedang.
US
digunakan untuk terapi dalam penelitian ini adalah frekuensi 1 MHz,
diberikan secara continuous, dengan intensitas 0,5 watt/cm2 ,
diberikan dalam waktu 6 menit.. Adapun pengaruh gelombang US yang
diharapkan terhadap proses peradangan dan perbaikan jaringan seperti
pada sindroma lorong karpal adalah : (1) untuk dapat mempercepat proses inflamasi normal dengan meningkatkan produksi dan pelepasan wound-healing factors,
(2) dapat meningkatkan proses sintesa collagen dan meningkatkan
permeabilitas membran sel, hal tersebut akan menyebabkan lebih banyak
collagen yang terbentuk dan juga meningkatkan tensile strength
pada ligamen, (3) dapat memperbaiki extensibilitas jaringan collagen
yang telah terbentuk setelah proses inflamasi, (4) dapat terjadi capillary hyperaemia dengan pelepasan histamine-like substances yang akan membantu pengangkutan dan mengurangi pengaruh algogenic chemicals yang dihasilkan selama proses inflamasi, sehingga dapat mengurangi nyeri. (Wadsworth, 1981 )
3. Median Nerve Mobilisation (ULTT 1)
Tidak
ada bukti penelitian bahwa saraf dalam sekali mobilisasi dapat bergerak
kembali dari keterbatasannya (Ekstrom dan Holden, 2002). Penelitian pada 15 cadaver
menunjukkan bahwa saraf medianus dan ulnaris bergerak longitudinal pada
siku rata – rata 7,3 mm dan 9,8 mm, masing – masing dilakukan full fleksi – ekstensi siku. Saraf medianus terjadi longitudinal gliding pada wrist dengan full arc wrist fleksi dan ekstensi dengan nilai 15,5 mm dan saraf ulnaris 14,8 mm (Wilgis dan Murphy, 1986 dikutip Ekstrom dan Holden, 2002).
Mobilisasi saraf medianus menggunakan 5 gerakan sekuensi, yaitu : depresi shoulder girdle
dengan fleksi siku hingga 90°, abduksi bahu dengan fleksi siku hingga
90°, eksorotasi bahu, pergelangan tangan dan jari ekstensi dengan lengan
bawah supinasi dan siku ekstensi. Setiap gerakan dilakukan sampai titik
uncomfortable melalui feedback dari pasien dan kemudian release hanya pada titik dimana tekanan uncomfortable terasa (Ekstrom dan Holden, 2002)
Mobilisasi dilakukan secara gentle,
ekstensi siku selama 2 detik hingga pasien merasakan tekanan tetapi
tidak nyeri, kemudian fleksi siku hingga titik dimana pasien tidak
merasakan tekanan, ulangi sebanyak 6 – 7 gerakan mobilisasi (Ekstrom dan
Holden, 2002).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar